Lanjutan dari Link I
Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya
Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Herbal Usadha Taru Pramana
(Bagian II)
Keilmuwan yang dikuasi untuk menjadikan dirinya Balian Usadha yang Mumpuni (II).
3.3.8 Mempelajari Laku Kediatmikan
Secara umum untuk kediatmikan, para guru akan mengajari berbagai pengetahuan, dikatakan oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara 1 maret 2016): “Tampaking kuntul anglayang kadi segara tan petepi , pengetahuan dasar ane patut telepang seperti: kande empat, dasa aksara, disamping pengetahuan lenan cara ketikelaning Genta Pinara Pitu muah Sastra sanga lan Dasa Bayu.
Artinya: “Ajaran atau pengetahuan itu bagikan bayangan burung terbang dan laut yang tiada tepinya, sebagai ilmu dasar yang harus dipelajari seperti: Kanda Pat, Dasa aksara, dismping ilmu lainnya seperti Katikelaning GentaPinara Pitu Sastra Sanga dan Dasa Bayu,
S eseorang yang berkeinginan belajar tentang kediatmikan Bali, entah karena apa motivasinya, maka keinginan tersebut hendaknya lebih diyakinkan dengan seyakin-yakinnya pada diri sendiri sehingga tumbuh keyakinan yang mantap untuk belajar. Belajar kediatmikan tidak bisa ditentukan waktunya, mungkin lama dan mungkin pula cepat, hal ini sangat tergantung keyakinannya. Juga disebutkan bahwa seorang yang mempelajari kediatmikan tidak terlepas dari ajaran penempatan Dasa aksara dan pengringkesnya pada stula sarira, penempatan ongkara pada stula sarira, melakukan Tapa Brata Yoga Samadhi, mengistanakan aksara pada stula sarira, mempelajari gegelaran, merangsuk kanda pat, dan lainnya.
Hal serupa dijelaskan dalam Lontar Usada Kalimosada (dalam Yasa. 2014:18) bahwa, Balian yang mumpuni adalah Balian yang suci lahir bathin. Pertama-tama hendaknya mempelajari yoga sastra, yoga dengan sarana aksara suci disebut Katikelaning Genta Pinarah Pitu (tujuh tangga nada kundalini), sastra sanga (sembilan aksara suci/sembilan dewata) dan Bodha kecapi (kesadaran spiritual).
Menurut Yuliana (2013: 150) bahwa manusia shakti itu adalah mereka yang memiliki kecerdasan yang paripurna yaitu cerdas intelektual (memiliki daya budi berupa wawasan empirik dan logis yang luas dan dalam tentang makrokosmos dan mikrokosmos khususnya tentang profesionalnya), cerdas emosional (memiliki daya rasa yang halus), dan sekaligus cerdas secara spiritual. Wujudnya berupa kemurnian diri, penuh rasa cinta kasih, dan prilaku yang baik tidak mementingkan diri sendiri, mempraktekkan patikelaning genta pinara pitu, sastra sanga, dan budha kacapi.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, untuk dikatakan berhasil mendapapatkan ilmu kediatmikan Bali tidak bisa ditentukan waktunya, mungkin lama dan mungkin pula cepat, karena keyakinan yang seyakin-yakinnya sebagai motivasinya, sehingga tumbuh keyakinan yang mantap untuk belajar. Ilmu kediatmikan didapat dari ajaran penempatan Dasa aksara dan pengringkesnya pada stula sarira, penempatan ongkara pada stula sarira, melakukan Tapa Brata Yoga Samadhi, mengistanakan aksara pada stula sarira, mempelajari gegelaran, merangsuk kanda pat, yoga sastra, Katikelaning Genta Pinarah Pitu , sastra sanga dan Bodha kecapi (kesadaran spiritual).
3. 3.9 Menguasai Nyama Pat-pat Kelima Pancer
Sedulur Papat Kalima Pancer dapat diuraikan berupa sadulur Papat adalah saudara kita, Pancer adalah kita sendiri. Kalau di masyarakat Bali lumerah disebut ajaran Kanda pat (Nala. 1994:192-194). Kanda artinya tutur, petuah, cerita, tetingkah, kesaktian, kesidian atau kewisesan dan Pat artinya empat. Kanda Pat berarti empat macam ajaran tentang ilmu kesaktian, kesidian dan kewisesan.
Menurut LontarUsada Tetenger Beling (dalam Nala.1994:192) ada disebutkan bahwa, pada waktu kita embas (terlahir) ke dunia ini, pada saat yang sama lahir pula Sanghyang Panca Maha butha yang disebut dengan saudara lima yaitu yang paling tua berwujud yeh nyom, Wayanan (yang lahir ke 2) berwujud Darah, Madenan ( lahir no 3 ) berwujud Ari-ari , Nyomanan (lahir no 4) berwujud Lamad (Lamas) dan si cabang bayi. Saat kita terlahir diikuti oleh Sanghyang Tiga Sakti berupa Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa siwa. Beliaulah Sanghyang Tiga Sakti amor ring Buwana Agung, kemudian dipuja oleh semua mahkluk hidup di dunia. Beliau di puja di Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem. Jadi Sang Kanda Pat yang juga disebut Sanghyang Panca Mahabutha merupakan kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang senantiasa menyertai diri kita sejak di kandungan sampai mati bahkan sampai Atman kita menghadap Sang Pencipta (Ginarsa.2008)
Menurut Lontar Kanda Pat Butha (Ginarsa.2008) , sanghyang Panca Mahabutha menjadi pepatih di segala penjuru dunia. Sebagai pemelihara dunia dan semuanya mahasakti tidak terhingga. Bila di puja, diyakini, dan diresapi, maka Beliau dapat ngerangsuk ke dalam badan. Dapat memberikan jalan menuju kebijaksanaan, kewibawaan, kesaktian, kesidian, kawisesan, dan kemuliaan. Penjeasannya sebagai berikut:
“1). Saudara yang paling tua berwujud yeh nyom, di dalam badan manusia beliau beristana di kulit diberi nama Anggapati sebagai Segare Tan Patepi, Bila terasa badan kita besar dan keluar keringat seketika, tandanya beliau I Ratu Ngurah Tangkeb Langit telah menyatu pada diri kita. Segala penyakit dan penderitaan musnahlah adanya. Simbul aksara sucinya “Sang”. Air sucinya berupa Tirta Sanjiwani, rembesannya keluar dalam bentuk keringat. Fungsinya adalah untuk membasmi segala penderitaan penyakit. Pada pekarangan beristana di PalinggihTaksu Merajan. Beliau adalah berbentuk langit yang cemerlang, menjadi damuh (air gerimis yg jatuh dari langit pada dini hari). Sesaji atau banten persembahan kepada Beliau berupa Ketipat dampulan matenggek, taluh bokasem, segehan kepelan putih me be bawang jahe.Beliau yangg menjadi pepatih di pura ulun suwi, yg diberi gelarIRatu Ngurah Tangkeb Langit, yang diikuti oleh pengikutnya Sang Bhuta Swadnya, Sang Bhuta Swasti, Sang Bhuta Tenggara.
2). Saudara paling Wayan-an (yang lahir ke 2) berwujud darah. Dalam badan manusia, Beliau berstana di dalam Darah diberi nama Mrajapti sebagai Tampaking Kuntul Nglayang, Bila terasa panas pada telinga, dan terbelalak rasanya mata, tidak mampu berkedip, tandanya beliau I Ratu Wayan Tebeng menyatu pada diri kita, segala mara bahaya dan penyakit di tolaknya. Simbol aksara sucinya “Bang”. Air sucinya berupa tirtaAmerta Kamandalu. Fungsinya adalah untuk menolak segala perbuatan jahat baik skala maupun niskala. Semua dapat di tolaknya. Penjelmaannya menjadi api unggun, gunung, hutan, jalan, pohon besar. Pada pekarangan berstana di lebuh (pintu keluarnya rumah). Sesaji atau banten persembahan kepada Beliau berupa Ketipat galeng dengan telur itik, segehan barak me bebawang jahe. Beliau menjadi pepatih di pura Sada. Kemudian beliau bergelar I Ratu Wayan Tebeng, diikuti oleh Sang Bhuta Usadi, Sang Bhuta Keli;
3) Saudara Maden-an (lahir no 3) berwujud Ari-ari, di dalam badan manusia beristana pada urat syaraf yang bernama Banaspati sebagai Galihing Kangkung. Bila terkejut dan merasa takut, bulu kuduk berdiri seperti angin dingin, tandanya beliau I Ratu Made Jelawung menyatu pada diri kita, segala penyakit yang berasal dari upas dan cetik musnah semuanya. Dengan aksara sucinya “Tang”. Air sucinya berupa tirta Kundalini. Rembesannya berupa rambut, fungsinya untuk menjaga diri terhadap orang yang berbuat jahat. Dalam pekarangan beliau beristana di Pelinggih Tugu Pekarangan (Tunggun karang) sebagai penjaga pekarangan rumah. Penjelmaan Beliau berwujud angin kencang, mahluk kecil (gumatat-gumitit), menjadi tegalan yg sangat luas, berwujud perkebunan yang pagarnya sangat sempurna, berwujud rumah besar yg bertembok tinggi. Sesaji/ banten persembahan kepada Beliau berupa Ketipat gangsa, me be sate gede, segehan kepelan kuning me be bawang jahe. Beliau menjadi pepatih di Pura Puseh bergelar I Ratu Made Jelawung. Di ikuti oleh Sang Bhuta Prajapati, Bhuta Bisrana;
4) Saudara Nyoman-an (lahir no 4) berwujud Lamad (Lamas). Di dalam badan manusia beristana pada tulang dan sumsum, yang bernama Banaspati Raja, Beliau sakti tiada tandingannya. Beliau sbg pemelihara dunia. Bila berdenyut pada kemaluan, dan hidup secara tiba-tiba, berat rasanya badan, seolah-olah ingat dan rindu pada sesuatu yg bersifat gaib, tandanya beliau I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan menyatu dengan diri kita. Tidak takut dalam segala bentuk tantangan. Bila kita merasakan atau mencium bau yang harum seperti bau bunga, kemudian megledug seperti jatuhnya buah kelapa, seperti suara bedeg diinjak-injak, itu semua adalah pengikut I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Beliau memanggil saudaranya semua, untuk mau menyatu pada diri kita. Dengan aksara sucinya “Ang”. Air sucinya berupa tirta mahamertha, fungsinya untuk menjaga diri terhadap orang yang berbuat jahat. Dalam pekarangan beliau beristana di Pelinggih Taksu (tugu natah/surya) sebagai pemelihara keharmonisan rumah tangga, dewatanya semua Balian pengiwa dan penengen, menciptakan kekuatan mantra. Penjelmaan Beliau berwujud lautan, sungai, burung, berwujud manusia seperti kita, orang tua yg berkampuh poleng. Sesaji/ banten persembahan kepada Beliau berupa Sesaji/banten aturanKetipat gong, me be taluh meguling, sesari sebelas biji uang kepeng, rokok, segehan kepelan selem me be bawang jahe. Beliau menjadi pepatih di Pura Dalem bergelar I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Di ikuti oleh Sang Bhuta Prajapati, Bhuta Bisrana;
5) Diri kita sebagai saudara Ketut-an ( no 5 paling akhir ) dalam kanda pat disebut I Bhuta Dengen. Sebagai diri kita manusia itu sendiri, disebut Lontar Tanpa Tulis. Bila tiba-tiba kita menjadi pintar, mampu berbicara banyak, pembicaraan yang halus dan manis, tandanya I Ratu Ketut Petung menyatu pada diri kita. Berfungsi sebagai pemelihara kandungan, pemelihara diri sendiri, pembunuh musuh yang jahanam pada diri kita. Segala penderitaan sirna adanya. Aksara sucinya “Ing” air sucinya berupa Tirta Amerta Pawitra, rembesannya berupa rasa. Dalam pekarangan beliau beristana di Pelangkiran rumah utama (pelangkiran bale dangin). Penjelmaan Beliau berwujud kilat /tatit, Beliau menjadi pepatih di Bale Agung. Sesaji/ banten persembahan kepada Beliau berupa Ketipat leket akelan, me be taluh bajongan, segehan brumbun me be bawang jahe. Beliau menjadi pepatih di Pura Desa. Bergelar I Ratu Ketut Petung. Diikuti oleh Sang Bhuta Ngemban Nginte, Sang Ayu Draning”.
Ida I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan , yang merupakan pepatih dari saudara-saudaranya yang lain. Ida I ratu Nyoman sakti Pengadangan adalah Dewan Balian Sejagat,yang merupakan pepatih bersama saudara-saudaranya yang lain (I Ratu Ngurah Petung, I Wayan Tebeng, I Made Jelawung, dan I Ketut Petung) Beliau wajib dibuatkan pelinggih penyawangan biasanya disiapkan tempat dalam bentuk kamar suci, dibuatkan daksina linggih, ditempatkan pada pelangkiran. Apabila berkehendak memuja Sanghyang Panca Mahabhuta supaya segera menyatu dengan diri kita, pada hari Sabtu Kliwon wuku Landep atau Hari Tumpak Landep ( hari piodalan Ida Sanghyang Panca Mahabhuta).
Dalam lontar "Aji Maya Sandhi" disebutkan ketika manusia sedang tidur maka Kanda Pat itu keluar dari tubuh manusia dan bergentayangan, ada yang duduk di dada, di perut, di tangan dsb. sehingga mengganggu tidur manusia; oleh karena itu perlu dibuatkan pelangkiran untuk stananya agar mereka dapat melaksanakan tugas sebagai "penunggu urip". Jika itu dilaksanakan maka manusia akan tidur dengan tenang dan nyenyak karena sudah ada yang menjaga dari segala bentuk gangguan roh jahat. Di dalam pelangkiran itu letakkan tegteg daksina sebagai linggih mereka berempat, dan setiap purnama diperbaharui daksina linggihnya.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Kanda Pat berarti empat macam ajaran tentang ilmu kesaktian, kesidian dan kewisesan. Saudara kita yang diajak lahir bersama Sanghyang Panca Maha butha yang disebut dengan saudara lima. Bila di diyakini, puja, dan diresapi, maka Beliau dapat ngerangsuk ke dalam badan. Dapat memberikan jalan menuju kebijaksanaan, kewibawaan, kesaktian, kesidian, kawisesan, dan kemuliaan.
3.3.10 Memahami Dasa Aksara
Menurut Yasa (2015:69) bahwa Dasa aksara yang merupakan gabungan dari Panca Aksara dan Panca Brahma (Dewa tertinggi) sebagai aksara pengider-ider (aksara dewata terstruktur menempati penjuru mata angin).
Di dalam IlmuUsada (Nala. 1994:99) disebutkan bahwa, malianin atau menjadi Balian/dukun harus memahami falsafah pedukunan yaitu: “Wruh ring patikelaning genta pinara pitu mwang sastra sanga, wenang pwa sira ngusadhanin. Yan nora samangkana, mealian mwang maliin pwasira. Katemah pwa sira dening Sang Hyang Aji Saraswati. Mungpang laku salampahira. Jatasmat”
Artinya: “Mahir akan kelipatan suara genta yang berlipat tujuh dan dasa sastra/aksara (Sa. Ba. Ta. A. I. Na. Ma. Si. Wa.Ya) bolehlah engkau melakukan pengobatan, bila tidak seperti itu, pencari keuntungan atau dukun cabul, dikutuk oleh Sang Hyang Aji Saraswati, sengsara seumur hidup. Semogalah terhindar dari kutukan ini”.
Menurut Jro Balian Dalang Lalar mengatakan “ seorang pangusada harus juga menguasai genahdasa aksararing awak” artinya “ sebagai seorang Balian Usada juga menguasai tempat dasa aksara di dalam tubuh” . sebagai berikut:”
- Sang megenah ring papusuh, dewania Iswara, ring purwa desania, putih warnania;
- Bang megenah ring hati, dewania brahma, ring daksina desania, barak warnania;
- Tang megenah ungsilan, dewania mahadewa, ring pascima desania, barak warnania;
- Ang megenah ring ampru, dewania Wisnu, desania ring utara, ireng warnania;
- Ing megenah ring bungkahing hati, dewania siwa, ring tengah desania, mancawarna warnania;
- Nang megenah ring peparu, Maheswara dewania, Dadu warnania ring gnyan Genahnia;
- Mang megenah ring usus, Ludra dewania, Jingga warnania, ring nariti desania;
- Sing megenah ring Limpa, Sangkara Dewania, Hijau warnania, ring wayabhya deania;
- Wang magenah ring Anus, Sambu Biru dewania, ring geniyan desania; dan
- Yang megenah ring Susunan Tumpuking Hati, Dewania Hyang Guru, Panca warna warnania, ring tengah genahnia ”
Hal yang sependapat disebutkan oleh Purwanto (2010:28-38) bahwa dasa aksara yang ditempatkan pada Bhuana Alit.
Hal yang sama disebutkan oleh Nala (2006: 107) bahwa dasa aksara itu terdiri dari sepuluh aksara suci (wijaksara) dalam Lontar Punggung Tiwas yaitu Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, mang, Sing, Wang dan Yang) yang kesepuluh aksara ini berasal dari delapan buah aksara wianjana (sa, ba, ta, na, ma, si, wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau kesepuluh aksara suci ini dirangkai maka akan terbentuk suatu kalimat Sabatai Nama Siwaya, sebagai doa untuk memuliakan Dewa Siwa.
Dalam Lontar Usada Punggung Tiwas (dalam Dikes. 2008:131) bahwa dasa aksara menjadi panca aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang), dari panca aksara menjadi empat aksara (Ang, Ung, Mang dan Ong), dari empat aksara diperas lagi menjadi tri aksara (Ang, Ung, Mang) dan dari tri aksara menjadi dwi aksara mensenyawakan aksara Ang dan Ah. Ang dan Ah ini yang umum diberi aksara Rwa Bineda, dua hal yang bertentangan yaitu yang bertempat di antara kedua mata yang menjadikan simbol + (tanda plus = tapak dara). Ang menjadi air suci kamandalu dimata kanan dan Ah menjadi tirtha pawitra terletak di sebelah mata kiri. Diantara kedua belah mata atau alis (selaning lelata) berwujud amerha atau penyebab kehidupan yaitu Ida Hyang Widhi dengan menunggalnya aksara suci Ang dan Ah menjadi aksara Ong (Om) melinggih ring umbun-umbun (Siwadwara/pabahan). Hal serupa dijelaskan oleh Nala (2006:134-135).
Dalam tradisi Hindu di Bali tanda Tapak Dara (+) adalah simbol penyatuan Rwabhineda (Dualitas) (|) dan segitiga yang puncaknya ke atas, mewakili purusa/bapa, akasha/Maskulin. Sedangkan (-) dan segitiga yang puncaknya ke bawah mewakili prakerti/Ibu atau pertiwi. Hanya dengan melampaui Rwabhineda (dualitas), menyatukan/melihat dalam satu kesatuan yang utuh, maka pintu gerbang menuju Hyang Tunggal akan ditemukan. keutuhan disini, bukan menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang ada. Bukan juga merangkul semuanya dalam satu sistem tertentu, bukan juga untuk satu agama tertentu, tapi temukan dan kumpulkanlah semua serpihan kebenaran yang ada di setiap perbedaan yang membungkusnya. Inilah Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa (berbeda-beda namun tetap satu).
Menurut Yasa (2015:45-46) menyebutkan bahwa, kesinambungan nafas masuk dan nafas keluar itulah yang menjadikan proses hidup. Suara Ang ketika nafas masuk melalui pusar, dan sebaliknya suara Ah ketika nafas keluar menyatu dengan nafas di luar diri. Begitu berlangsung terus selama sang diri hidup hadir dalam semua mahkluk. Prana ‘energi’ keluar dan masuk itulah yang disebut Sanghyang Rwa Bhineda.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Dasa aksara itu terdiri dari sepuluh aksara suci. D asa aksara menjadi panca aksara terus menjadi catur aksara berlanjut menjadi tri aksara kemudian menjadi dwi aksara yang mensenyawakan aksara Ang dan Ah (Rwa Bineda), dua hal yang bertentangan yang bertempat di antara kedua mata yang menjadikan simbol + (tanda plus = tapak dara). Ang menjadi air suci kamandalu dimata kanan dan Ah menjadi tirtha pawitra terletak di sebelah mata kiri. Diantara kedua belah mata atau alis (selaning lelata) berwujud amerha atau penyebab kehidupan yaitu Ida Hyang Widhi menjadi aksara Ong (Om). Keutuhan disini, bukan menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang ada.
3.3.11 Mempelajari Katikelaning GentaPinara Pitu
Menurut Balian Jero Dalang Wayan Lalar (Wawancara 1 Maret 2016): “ Seorang pangusada harus menyatukan diri dengan dukun-dukun di dalam dirinya (saudara papat kelima pancer) sesanapangusadan kukuhang pangusada dengan baik, menguasai Genta pinaruh pitu adalah kemampuan untuk membangkitkan tujuh buah kekuatan yang berasal dari energi tujuh chakra dan kundalini, Gentha Pinara Pitu yaitu tujuh kekuatan Cakra Kundalini tubuh manusia bersatu dengan kekuatan kosmik semesta. Disebutkan dalem, puseh dan baleagung yang ada dalam diri harus dikuasai”
Hal tersebut diungkapkan oleh Yasa (2014: 92) bahwa, Dalam Lontar Budha Kacapi Putih, siswa dapat membaca “Genta ngaran awakta” ‘ganta artinya dirimu’: “pi ngaran pitara” ‘pi artinya leluhur (roh)’; “nara ngaran manusia” ‘ nara artinya manusia’; “pitungaran pitui” ‘ pitu artinya sejatinya’; “awakta manikel, ika sariraning pitara, mawak manusa jati” ‘badanmu yang berlapis-lapis itu adalah istanyanya roh, yaitu perwujudan manusia sejati’. Hal ini mendasari tri sarira (badan kasar, badan halus dan badan mental) sebagai tempatnya roh yang harus dicucikan. Hal ini yang mendasari para siswa harus menguasai yoga kundalini yaitu menguasai tujuh suara cakra sebagai simpul energi.
Menurut Nala (1994:120) bahwa, Katikelaning GentaPinara Pitu ada menyebutkan dua persi yang berbedayaitu: 1) Katikelaning Genta Pinara Pitu merupakan tujuh getaran bunyi kosmik dari tujuh cakra kundalini yang terdiri dari cakra Dasar (Muladhara=Pertiwi / tanah bersemayam Dewa Brahma / penghindra hidung), cakra kelamin (Syadhistana = air, bersemayam Dewa Wisnu /pengindra lidah), Cakra Perut / pusar (Manipura = Api/panas bersemayam Dewa Ludra / indra mata), Cakra dada (Anahata = semayam Dewa Iswara / Indra Kulit), Ckra Kerongkongan (Visuddha = O kosong sunia bersemayam Dewa Sadha Siwa / indratelinga), Cakra dahi (Adnya = Mata tiga /Tri Netra, bersemayam Dewa Parama Siwa / sebagai kendali semua cakra dibawahnya), dan Cakra umbun-ubun (Sahsarara bersemayamnya Dewa Brahma-Randhra / tempat bertemunya sakti kundalini dengan Dewa Siwa sebagai pertemuan kekuatan / pusat kesadaran yang tinggi). Ketujuh cakra ini bila bersatu dengan siwa maka akan menimbulkan tenaga yang luar biasa kuatnya, tenaga ini sering disebut “Tenaga Dalam”. Tenaga Dalam adalah suatu tenaga yang mampu mentralisir kekuatan negatif di dalam tubuh pasien, dan 2) dalam persi ini adalah genta dari Sapta Rsi, yang memiliki nama dari Sapta Wara (tujuh hari dalam seminggu) yang digunakan sebagai patokan padewasan yang mewakili planet-planet di bhuwana agung seperti Rsi Raditya (kekuatan Dewa Surya), Rsi Soma (kekuatan Dewa Bulan/Chandra), Rsi Anggara (kekuatan bintang Dewa Anggara), Rsi Budha (kekuatan Bintang Dewa Budha), Rsi Wrespati (kekuatan bintang Dewa Wrespati, Rsi Sukra (kekuatan bintang Dewa Sukra, dan Rsi Saniscara (kekuatan Bintang Dewa Saniscara). Disebutkan apabila telah mampu membangkitkan tenaga dalam ini maka orang sisya telah dianggap mampu menerima segala pelajaran termasuk pelajaran yang paling rahasia sekalipun, tidak akan goyah, tetap pageh menghadapi segala macam tantangan atau godaan, dan telah siap menjadi Balian.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Tenaga Dalam adalah suatu tenaga yang mampu mentralisir kekuatan negatif di dalam tubuh pasien. Praktisi harus menguasai Genta Pinara Pitu, yaitu menguasai tujuh suara cakra (Yoga kundalini) sebagai simpul energi, adalah kemampuan untuk membangkitkan tujuh buah kekuatan yang berasal dari energi tujuh chakra dan kundalini tubuh manusia bersatu dengan kekuatan kosmik semesta. hal ini perlu dibangkitkan dengan pelatihan yoga semadhi dan melakukan tapa, bratha, samadhi, suatu pengetahuan agar tetap pageh menghadapi segala macam tantangan atau godaan.
3.3.12 Mempelajai Sastra Sanga
Sastra Sanga.(Nala. 1994: 122) Sembilan buah dasar suatu pelajaran yaitu:
1) Darsana Agama yang terdiri dari sad darsana (enam jalan kebenaran) yaitu: filsafat tentang asal mula Bhuana Agung dan Bhuana Alit serta kiamatnya dunia / Vedanta), kewajiban umum dharma agama / mimamsa, filsafat tentang pengetahuan ketuhanan Niyaya, pengetahuan tentang sumber kehidupam / Samkya, filsafat tentang kedisiplinan dan penenangan diri / yoga;
2) Tattwa Purusha Pradana yang membahas tentang asal mula dari mahkluk hidup;
3) Tattwa Bhuana Mabah yang membahas tentang peranan Bhuana Agung dan Bhuana Alit; dan keterikatannya;
4) Tattwa Siwatma menjelaskan konsep asal usul atma dari mahkluk hidup itu;
5) Tattwa Triguna memuat tentang ikatan tri guna (satwam, rajas dan tamas);
6) Dewa Nawa Sanga memuat tentang sembilan Dewata, posisisnya dalam mata angin dan senjatanya serta kekuatannya masing-masing;
7) Wija aksara berisikan penunggalan dasa aksara menjadi menjadi panca aksara terus menjadi tri aksara kemudian menjadi dua akasara (dwi aksara) serta menunggal menjadi eka aksara;
8) Kanda pat merupakan filsafat tentang saudara yang diajak lahir (yeh nyom / air ketuban), rah (darah), Lamas(selumbung halus janin), ari-ari (placenta);
dan 9) Rwa Bhineda, dua unsur yang selalu ada bersamaan namun bertentangan sifatnya. Dan eka aksara sebagai panungalan dengan Hyang Widhi.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Sastra Sanga yang merupakan sembilan buah dasar suatu pelajaran yang merupakan jalan menuju kebenaran untuk mengetahui asal mula dari mahkluk hidup, peranan Bhuana Agung dan Bhuana Alit dan keterikatannya, mengetahui konsep asal usul atma, mengetahui ikatan tri guna dalam tubuh, mengetahui konsep penunggalan dasa aksara, mengetahui filsafat saudara yang diajak lahir, mengetahui konsep sembilan Dewata dengan kekuatannya masing-masing sampai penunggalnnya dengan Hyang Widhi (Om/ ) .
3.3.13 Mempelajari Dasa Bayu
Dasa Bayu adalah sepuluh energi kosmik. Bayu (sangsekerta:vayu) berarti angin; udara; nafas; dewa angin (Yasa. 2015:85). Prana yang merupakan unsur halus atau energi vital dari vayu yang meliputi seluruh kosmik yang ada dalam tubuh (Brajendranath Seal dalam Nala, 1995:48). Prana adalah seluruh tenaga yang berwujud dalam alam semesta ini, prana sebagai kekuatan hidup, sifatnya halus, prana yang menghubungkan tubuh dengan jiwa, prana mengaktifkan badan kasar melalui nadi-nadi (saluran-saluran energi yang vital), prana menyokong kehidupan yang vital dengan memberi energi kepada materi (Nala.1994:48). Menurut Siwananda (dalam Yasa. 20015:86) bahwa, prana adalah energi yang tidur di dalam diri perlu dibangkitkan melalui latihan yoga melalui latihan pranayama. Wujud prana berupa panas, cahaya, listrik, daya magnet. Menurut Yasa (2015:88-90) bahwa, prana di dalam diri manusia ada pada pusat-pusat pusaran sepuluh cakra dalam diri (dasa sandhi). Dasabayu dikatakan sering dikatakan dasa aksara, lagi pula dewa-dewa dalam dasabayu ternyata sama dengan dasaaksara dan memiliki masing-masing wijaksara. Adapun ikhtisar Dasa bayu, wijaksara dan penempatannya disebutkan sebagai berikut:
(1)Prana, wijaksaranyaung, Dewanya Paramasiwa, bertempat di 12 inci di atas kepala, jantung, dan dada berfungsi untuk menggerakan bayu lainnya;
(2) Udana, wijaksaranya ing, Dewanya Sadasiwa, bertempat di dalam kepala, di ubun-ubun berfungsi menggerakkan mata dan mulut;
(3) Samana, wijaksaranya kung, Dewanya Iswara, bertempat di langit-langit, mulut, hati berfungsi mengelola sari makanan dan minuman menjadi darah, daging dan empedu;
(4) Apana, wijaksaranya sung,Dewanya Rudra, bertempat di perut, kantung kemih, kemaluan berfungsi menyebarkan sari-sari makanan dan minuman hingga menjadi sperma dan sel telor;
(5) Byana, wijaksaranya mung, Dewanya Maha Dewa, bertempat di setiap persendia, berfungsi menggerakkan tubuh dan mengatur umur;
(6) Naga, wijaksaranya rung, kedudukan naik keatas sampai di langit-langit mulut, fungsinya serdawa dan muntah;
(7) Kurmara, wijaksaranya Lung, terletak di langit-langit dan jantung berfungsi membuka dan menutup mata, gemetar, dan mengkerutkan badan;
(8) Krkara, wijaksaranya Wung, terletak di ginjal dan limpaberfungsi menelan sesuatu, bersin;
(9) Dewa data, wijaksaranya Yung, terletak di daging dan otot, berfungsi batuk dan menguap;
dan (10) Dhanan jaya, wijaksaranya Ung, terletak di darah, daging, kulit di seluruh saluran tubuh, berfungsi pada bunyi.
Setelah dikonfirmasikan dengan Jro Balian Dalang Lalar (wawancara 8 Juli 2016) dikatakan bahwa “dasa bayu, aksara dasa ruling, dasa aksara” ‘dasa bayu. Menurut Yasa (2009:xx) ada disebutkan bahwa dalam lontar Jnana Siddhanta ada dijelaskan bahwa dasa bayu itu akekat dari dasa ksara ‘sepuluh aksara formula: I, A, Ka, Sa, Ma, Ra, La, Wa, Ya dan U.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Dasa Bayu adalah sepuluh energi kosmik , sebagai sumber prana. Prana adalah energi yang tidur di dalam diri perlu dibangkitkan melalui latihan yoga, yaitu dengan melalui pelatihan pranayam.
3.3.14 Mempelajari wija aksara dan aksara suci
Seperti dijelaskan di atas bahwa tenaga kediatmikan didapat karena belajar wija aksara dan aksara suci, belajar aksara swalalita (aksara dasar) dilengkapi dengan pengangge sastra, pengangge berupa ardha-chandra berbentuk bulan sabit ( ﺭ ), windu yang melambangkan matahari berupa bulatan (O), dan nada melambangkan bintang yang disimbulkan dengan segi tiga ۸) ). ketiga pengangge aksara ini dipasangkan pada aksara hurup hidup (Konsonan / aksara wreastra / a, i, u, e,o, ė) contohnya aksara ini seperti ang-kara , eng-kara , ing-kara, -kara, dan ung-kara yang merupakan modre sering dihubungkan dengan simbul dan kekuatan dari Dewa.
Dari penjelasn ini dapat dsiimpulkan bahwa, tenaga kediatmikan didapat karena belajar wija aksara dan aksara suci, belajar aksara swalalita (aksara dasar) dilengkapi dengan pengangge sastra yang menjadikan simbul dan kekuatan dari Dewa.
3. 3. 1 5 Aplikasi Dalam Wasuk Wetu, Meditasi Dan Pengetahuan Pendukung Lainnya
Menurut penuturan Jro Balian Wayan Lalar (Wawancara 8 maret 2016) bahwa: “diritatkala duduk hening di kamar suci, bermeditasi inget ring nyama patpat sane ajak lahir, berkomonikasi dengan bathin, nunggalkan diri ajak hyang widhi, menempatkan simbul aksara suci wijaksara baik dasa aksara, pancaaksara, triaksara, dwiaksara miwah eka aksara diragane”
Artinya: “Melakukan duduk hening bermeditasi dan mengingatkan diri pada saudara yang diajak lahir (kanda pat), berkomonukasi dengan bathin kepada saudara empat yang diajak lahir, menunggalkan diri dengan Sang Hyang Widhi menempatkan simbol-simbol suci aksara Bali (wijaaksara / bijaaksara) berupa dasa aksara, pancaaksara, triaksara, dwiaksara dan eka aksara di dalam diri”.
Menurut Yasa (2013:120-122) bahwa, di Bali para siswa (anak nyastra) memahami empat dewata itu sebagai saudara yang disebut catur sanak dewa, yaitu empat saudara dari dewata yang menduduki posisi tengah (puser) Bhatara Siwa dengan atribut lengkap dengan aksara sucinya Panca Brahma. (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing)
Hal serupa disebutkan di Lontar Kanda Empat Dewa dan Lontar Kanda Empat Sari ( Tjanteng.1979), bahwa bahwa ngerangsuk gerangsuk kanda pat ke dalam Bhuana Alit perlu dilakukan, hal ini bertujuan agar saudara kita yang diajak lahir selalu siaga menjaga dan memberikan jalan ke jalan yang benar. Negrangsuk kanda pat kususnya Kanda Pat Sari dari ke dalam tubuh untuk menjaga keselamatan diri kita (Wetu). Ngrangsuk Kanda Pat dengan mantra sebagai berikut :
“ 1) I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, ring papusuh, wetu sire amarga maring lambe ( cangkem ), alungguh ring arepku, kemit ingsun ring arep, yan ana satrunku dating maring arep, geseng basmi saterunku kabeh kang ana dateng ring arep;
2) I Ratu Wayan Tebeng, ring hati, wetu sire amarga maring soca, alungguh ring bahuku tengen, kemit ingsun ring tengen, yan ana saterunku dating maring tengen, geseng basmi saterunku kabeh kang ana dating ring tengen;
3) I Ratu Made Jelawung, ring ungsilan, wetu sire amarga maring karna, alungguh ring ungkur samangahan, kemit ingsun ring pungkur, yan ana saterunku dating maring pungkur, geseng saterunku kabeh kang ana dating ring pungkur;
4) I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, ring ampere, wetu sire amarga hirung, alungguh ring bahuku kiwa,kemit ingsun ring kiwa, yan ana dating saterunku maring kiwa, geseng basmi saterunku kabeh kang ana dating ring kiwa;
dan 5) I Ratu Ketut Petung, ring bungkahin hati, raksa awak sariranku kabeh, geseng basmi tan pasesa saterunku kabeh kang ngupita ala ring aku. Aku jaya langgeng urip, tan keneng baya pati, teguh aku ring jero, teguh aku ring jaba, teguh3x, Ong sidhi-mandi wakya ngucap, teka sidhi3x, Ong , Sang, Bang, Tang, Ang, Ing”.
Hal serupa dijelaskan oleh Nala (2006:108-109), merangsuk bijaksara sebagai simbul kekuatan hyang widhi beristana di dalam tubuh kita. Bija aksara yang dirangsuk kedalam Bhuana Alit adalah dasa aksara dengan penempatannya sebagai berikut:
“ 1) Sang megenah ring papusuh;
2) Bang megenah ring hati;
3) Tang megenah ungsilan:
4) Ang megenah ring ampru;
5) Ing megenah ring bungkahing hati;
6) Nang megenah ring peparu;
7)Mang megenah ring usus;
8) Sing megenah ring Limpa;
9) Wang magenah ring Anus;
dan 10) Yang megenah ring Susunan Tumpuking Hati”.
Hal yang sama dijelaskan oleh Nala (2006: 111) Kemudian dilanjutkan merangsuk panca Brahma dengan wija aksara diistanakan pada Bhuana Alit manusia pada: 1) Sang melinggih ring kulit; 2) Bang melinggih ring rah; 3) Tang melinggih ring daging; 4) ang melinggih ring urat-urat; dan 5) ing melinggih ring otak..
Penjelasan tersebut sesui dengan yang disebutkan oleh Nala (2006:123).Kemudian meneruskan triaksara merangsuk ring Bhuana Alit (tubuh manusia). ang merangsuk maring ati medadi bayu (dibagian tubuh yang panas/api/agni dan katos), ung merangsuk maringampru medadisabda (bagian tubuh yang encer/cair/air) nan, Mang merangsuk ring papusuhan madadi hidep (yang berongga/angin/udara).
Kemudian diteruskan merangsuk dwi aksara, Ang menjadi air suci kamandalu di mata kanan sebagi tirta kamandalu dan Ah menjadi tirtha pawitra terletak di sebelah mata kiri. Diantara kedua belah mata (selaning lelata) berwujud amerha atau penyebab kehidupan yaitu Ida Hyang Widhi, dengan menunggalnya aksara suci Ang dan Ah menjadi aksara Ong (Om) melinggih ring umbun-umbun (Siwadwara/pabahan).
Lebih lanjut Jro Balian Dalang Lalar menjelaskan bahwa: “ Kalau sudah melakukan wasuk wetu dengan baik berulang-ulang setiap hari bahkan setiap saat maka kesidian muwah kesihin dening widhi, secara automatis cakra-cakra dalam tubuh akan terbuka, kundalini (Genta pinaruh pitu) akan hidup”.
Menurut Nala (1994:121) bahwa, bergeraknya tujuh getaran bunyi kosmik dari tujuh cakra kundalini, yang sering disebut tenaga dalam yang dapat disalurkan keluar tubuh, suara kosmik terdengar ketika kundalini melalui ketujuh chakra yang ada di dalam tubuh. Ketujuh suara kosmik tersebut adalah: mengering, gemerencing, berdenting, bunyi seruling dan bunyi Om tiga kali. Bila suara ke-tujuh suara kosmik ini sudah muncul berarti pelaku sudah siap menerima segala jenis pelajaran kediatmikan.
Penjelasan tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ginarsa (2008) bahwa kanda empat itu adalah sudara kita yang diajak lahir, berdiam dibagian-bagian organ tubuh tertentu. Menurut Nala (1994: 192-194) bahwa seperti apa yang ditulis dalam lontar usada tetenger beling, air ketuban berkedudukan di jantung, dengan muara di mulut, getih / darah berdiam di empedu bermuara di hidung, lamas bermukim di hati dengan bermuara di mata, dan ari-ari berada di buah pinggang dengan temapt keluarnya di telinga. Hal inilah yang perlu dirawat terus agar mereka menjaga diri kita siang dan malam.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, untuk menjaga keselamatan diri kita dan kesidian dengan memahami empat dewata sebagai bagian dari yang diajak lahir disebut catur sanak dewa di-rangsuk ke dalam tubuh, merangsuk bijaksara sebagai simbul kekuatan Hyang Widhi yang berstana di dalam tubuh kita, merangsuk panca Brahma dengan wija aksara diistanakan pada Bhuana Alit dan dengan menunggalnya aksara suci Ang dan Ah menjadi aksara Ong (Om / ) melinggih ring umbun-umbun (Siwadwara/pabahan).
3. 3.16 Pelatihan Kesadaran Diri Astangga Yoga
Jro Balian Dalang Wayan Lalar mempraktekkan ajaran astangga Yoga derdengan dari ucapannya (wawancara, 26 juni 2016) , bahwa: “Ketika akan mulai mengucapkan suatu mantra menarik nafas tiga kali dengan ucapan “ang ya naman, ung ya namah and mang ya namah” bhkan merasakan nafas dengan halus alami, dengan maksud menyucikan diri, mengambil sikap duduk mantap diam terpejam . Agar japa, tantra dan mantra majur sebaiknya perbuatan harus berdasarkan dharma ”.
Dari ucapannya tersebut sangat jelas beliau sudah melakukan pelatihan kesadaran diri ‘Astangga Yoga’. Menurut Yasa ( 2010:25-31; 2013:124-126) bahwa Astangga Yoga yaitu delapan tangga yoga (Astangga Yoga), yang di rumuskan oleh seorang yogi terkenal bernama Patanjali di dalam kitab yoga sutra, merupakan warisan berharga bagi para praktisi yoga masa kini. Dalam kitab yang di tulis dalam bahasa sansekerta pada kira-kira abad ke dua sebelum masehi ini, terdapat panduan mengenai tahap-tahap pemurnian tubuh dan pikiran agar dapat masuk lebih jauh ke dalam kesadaran yang lebih tinggi menuju realisasi diri atau samadhi, setiap tahap merupakan bagian mandiri yang dapat dilakukan secara terpisah,atau dapat pula dilakukan simultan dan bertahap.
Menurut Yasa (2010:6) bahwa, yoga adalah Suatu seni untuk meningkatkan kesadaran diri, baik pikiran, ucapan dan perbuatan. Dengan berlatih yoga secara rutin dan benar maka kesadaran, kebijaksanaan, ketenangan, ketentraman dan kedamian setiap praktisinya akan bangkit. Penyatuan yang di maksud adalah penyatuan Sang diri, yaitu roh / atman yang ada pada diri kita dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga mampu tercipta kedamaian di Jagat Raya ini. Yoga adalah praktik kehidupan, yang merupakan penerapan dari ajaran-ajaran weda, dalam kehidupan setiap mahluk hidup dilandasi oleh kesadaran ke-Tuhanan dalam hidupnya yang mengandung ajaran penuntun kehidupan sampai evolusi sang roh. Yoga merupakan suatu kontak pembebasan diri agar selalu dalam keadaan bebas dari penderitaan sebagai penyebab dari suatu kesedihan.
Tahap-tahap awal bernama yama dan niyama. Yama merupakan kode etik moral dan niyama merupakan panduan disiplin diri bagi setiap manusia shakti. Diibaratkan sebuah gedung yang membutuhkan fondasi yang kukuh,begitu pula di butuhkan moral dan disiplin yang kuat untuk mempelajari yoga. Adpun astangga yoga yang dimaksud antara lain (Yasa: 2010:25; Yasa: 2009:71; Yasa: 2013:124-126; Yasa: 2013:40 dan Siwatattwa. Anonim. 1999:70-76) dijelaskan sebagai berikut:
“ (1) Tahapan pengendalian diri, terdiri dari lima aspek, di namakan Panca Yama, yaitu :
1) Ahimsa : anti kekerasan,menghindari setiap bentuk tindak kekerasan,baik terhadap sesame manusia, binatang maupun lingkungan sekitar;|
2) Satya : Kebenaran yang sejati, mengikuti nurani dan menguatkan mental untuk selalu berkata, berpikir, dan berlaku secara benar;
3)Asteya : tidak mencuri, tidak menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain;
4) Brahmacharya : Menjaga kesucian, hidup secara seimbang dalam segala hal dan menjaga kemurnian tubuh, pikiran dan emosi;
dan 5) Aparigraha : nonposesif,menjauhkan diri dari membangga-banggakan diri dan harta,tetap hidup dengan sederhana dan tidak berlebihan;
6. Tahapan mendisiplinkan diri yang disebut Panca Nimaya terdiri dari lima aspek yakni:
1) Svadhyaya: Menuntut ilmu. Selalu haus akan ilmu dan memilki hasrat untuk terus memperdalam ilmu;
2) Tapa: ketekunan dan usaha keras;
3) Santosha : Penuh kedamaian, menjaga rasa damai dan rasa puas dalam diri;
4) Saucha : Kemurnian, meningkatkan kesucian tubuh dan pikiran;
dan 5) Ishvara Panindhana : menghormati Tuhan dan ajaran agama yang ada;
- Tahapan sikap diri atau Asana, atau postur tubuh, merupakan gerakan yang lembut dan sistematis. Asana bermanfaat untuk meningkatkan kelenturan serta kekuatan otot dan sendi tubuh, memijat susunan saraf pusat di punggung, melancarkan aliran darah, menyeimbangkan produksi hormone, serta membuang racun dari dalam tubuh;
- Tahapan pengendalian napas atau Pranayama, atau tekniik pernapasan, meningkatkan asupan oksigen serta prana ke dalam tubuh, menggiatkan fungsi kerja sel tubuh, serta meningkatkan konsentrasi dan ketenangan pikiran;
- Tahapan Menguasai Rasa atau Pratyahana yaitu menarik perhatian dari semua rangsangan yang terdapat di luar dan dapat mengganggu konsentrasi, dan mengarahkannya ke dalam diri, bertujuan mendiamkan pikiran dan merupakan pelatihan yang sangat baik untuk meningkatkan kesadaran (mindfulness);
Tahapan kosentrasi atau Dharana, adalah jalan menajamkan pikiran menjadi lebih tajam;
- Tahap Meditasi atau Dhyana, meditasi, adalah perjalanan untuk lebih jauh masuk dalam pikiran dan diri (the self) dan mulai meniadakan eksistensi tubuh; dan
- Tahap kesadaran tertinggi atau pencerahan atau Samadhi. Dalam tahap dhyana (meditasi) terkadang masih terasa dualisme antara kesadaran tubuh. Samadhi merupakan titik kulminasi union atau peleburan antara atma (diri) dan Sang Brahnan ( Sang Pencipta)”.
Seorang brahman seharusnya sudah melakoni sikap dan laksana pengendalian suci. Dalam kitab Bhagawad Gita XVIII-53 dan 54 (dalam Pudja. 2013: 433) ada disebutkan, kalau sudan menjadi Brahman, yaitu apabila atman atau jiwatman kembali ke alam asalnya (Brahman), Atman akan tenang, dan tidak lagi ada keinginan ataun penderitaan, sebagai sikap Brahman. Pemikiran ini hendaknya dipegang teguh atas dasar atman itu. Sifatnya kekal, dan kematian bukan berarti mati. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
“Ahańkāraṁ balaā parpaṁ kńmaṁ krodhaṁ parigraham, vimucya nirmamah śānto brahma-bhūyāya kalpate.
Brahma-bhūtaḥ prasannātmā na śocati na kāńkşati, samaḥ sharveşu mad-bhaktiṁ labhate parāṁ”.
Artinya: Setelah membuang jauh-jauh keakuan, kekerasan, keangkuhan, nafsu, amarah, dan kemilikan dengan penuh kedamaian, ia layak mencapai brahma. Dengan menjadi Brahma, berpikir tentram, tiada duka maupun keinginan, memandang sama semua mahluk insani; (demikianlah) ia yang telah mencapai bhakti tertinggi kepada-Ku.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Astangga Yoga yaitu delapan pengendalian diri berupa tangga yoga . Yoga adalah praktik kehidupan, merupakan suatu seni untuk meningkatkan kesadaran diri, baik pikiran, ucapan dan perbuatan. Dengan berlatih yoga secara rutin dan benar maka kesadaran, kebijaksanaan, ketenangan, ketentraman dan kedamian setiap praktisinya akan bangkit sehingga mempermudah mencapai penyatuan. Penyatuan yang di maksud adalah penyatuan Sang diri, yaitu roh/ atman yang ada pada diri kita dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
3.3.17 Melakoni Susila , Tattwa dan Agama.
Susiala merupakan kerangka penting di dalam kerangka tata kehidupan sehari-hari. Dari perbincangan tentang etika, susila dan agama (wawancara, 26 juli 2016) bahwa Jro Balian Dalang Wayan Lalar, dalam sikap tingkah laku seharian pun harus menjalankan tingkahing manusa suci, yaitu prilaku Tri Kaya Parisudha , Catur Paramita, danCatur Purusartha.
3.3.18 Tri Kaya Parisudha.
Dijelaskan bahwa ada tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu sebagai pedoman hidup sebagai landasan moral yang disebut Tri kaya Parisudha yang meliputi: 1) Berpikir yang benar (manacika), sebagtai pengendalian diri yang berdasarkan pikiran; 2) Berkata yang benar (Wacika), sebagai pengendalian diri yang berdasarkan perkataan ; dan 3) Berbuat yang benar (Kayika), sebagai pengendalian diri berdasarkan perbuatan (Yasa:2009:199; xxxiv) .
Berlanjut Ke link: Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya III
Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya I
Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Herbal Usadha Taru Pramana
(Bagian II) 25 Mei 2019
|