Home || Produk 1 || Produk 2 || Produk 3 || Produk 4 || Cara Pesan || Profile || Terapi Usadha Bali|| Artikel || Contact Us
|
|
Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya
Keilmuwan yang dikuasi untuk menjadikan dirinya Balian Usadha yang Mumpuni (I). Dalam Sistem religi dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal hal suci dan tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi yang meliputi, sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, upacara keagamaan. Hal ini mendorong adanya budaya Pengobatan tradisional Bali yang merupakan ilmu pengetahuan penyembuhan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, berasal dari kitab ayurveda merupakan bagian dari kelompok kitab Upaveda, sedangkan kitab Upaveda termasuk dalam kelompok kitab suci Veda Smerti. Kitab ayurveda ini sebagai cikal bakalnya Usada Bali. Kata Usada yang berasal dari kata Ausadhi (bahasa sangsekerta) yang memiliki literatur Usada berupa Lontar-Lontar Usada. Berdasarkan atas sumber pengetahuan dan kemampuan penyembuhan ada beberapa jenis Balian ,yaitu: (1) Balian katakson adalah Balian yang dalam menjalankan profesinya menyandarkan diri pada kekuatan-kekuatan sakti yang ada dan dimiliki oleh mahluk-mahluk supranatural seperti, dewa-dewa, roh-roh, jin, dan kekuatan sakti lainnya. (2) Balian kapican adalah Balian yang mirip dan bahkan hampir sama dengan Balian ketakson yang dalam menjalankan profesinya menggunakan benda-benda bertuah yang diperoleh dari kekuatan supranatural yang disebut pica (dapat berupa keris, batu permata, uang kepeng yang memiliki gambar dan bentuk spesifik tertentu, kayu dan atau akar dari jenis pohoh tertentu, dan kadang-kadang air suci yang disebut wangsuhan sebagai sarana obat) (3) Balian usada campuran adalah Balian yang dalam menjalankan profesinya di samping bersandarkan kepada pengetahuan, teknik dan ketrampilan pengobatan yang dipelajari dari naskah-naskah pengobatan kuno yang terdapat dalam lontar usada, dan menggunakan benda-benda bertuah yang diperoleh secara gaib, juga menggunakan kekuatan gaib. 3.1 Adanya Talenta Dari Dalam Diri Karena ada Keturunan. Orang Bali sangat percaya watak ataupun karakter seseorang sangat diwarnai oleh faktor keturunan, maksudnya prilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari akan tampak ada kemiripan dengan orang tuanya atau leluhurnya. Demikian juga bakat seseorang seolah-olah mewarisi bakat leluhurnya. Dahulu bapaknya atau ibunya atau kakek / neneknya menjadi Balian atau senang membantu masyarakat mencarikan bahan ramuan obat yang dibutuhkannya. Bahkan membantu yang membutuhkan memijak yang sakit dan lain sebagainya. Sesuai disebutkan oleh Nala (1994:113) dan Yuliana (2013: 183) bahwa seorang Balian (pengobat traditional Bali) yang dalam memproleh keahliannya berdasarkan tradisi, taksu, keturunan, pica, dan bisa juga karena belajar dari orang yang telah menjadi Balian sebelumnya. Dienjelasan bahwa faktor lingkungan atau faktor luar diri akan memperkuat talenta seseorang yang dibawa dari lahir sebagai penyulut keberhasilannya. 3.2 Adanya Keyakinan Yang Kuat (bibit). Jro Balian Dalang Wayan Lalar memiliki keyakinan (sradha) yang sangat kuat bahwa apa yang dilakukan merupakan pilihannya. Dengan menulis dan membaca akan mengetahui isi dari pada buku atau lontar-lontar tersebut. Hal ini sebagai cikal bakalnya mendapatkan pengetahuan kediatmikan dari pelajaran menyalin lontar-lontar kediatmikan dan lontar-lontar usada, yang sebagian besar hasil salinanya sebagai koleksi sampai saat ini. Dari membaca dan menulis tahu ciri-ciri penyakit seseorang, sarana yang digunakan sebagai bahan obat, dan cara penterapiannya akan diketahui. Sesuai yang diungkapkan oleh Jro Balian Dalang Lalar (asal Banjar Curah, Desa Gubug, Tabanan (dalam wawancara penelitian Usadha) menyebutkan “ Bapa melajah nyalin lontar, ipidan tusing ade mesin photo copy care jani, nah ditu ade makudang petunjuk tentang pengusadan, cara ngae obat, cara mengobati miwah ane lenan. Artinya: “Bapak belajar menyalin lontar, dahulu tidak ada mesin photo copy seperti sekarang, ditu ada beberapa cara tentang melakukan pengobatan traditional, cara bikin obat, cara mengobati dan yang lainnya” Dijelaskan dengan panjang lebar oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara Penelitan Balian Usadha. 26 juni 2016) bahwa: “Bibit ane ade di awake rawat dengan baik, ngelaksanayang ajaran dharma, uger-uger geginan dengan baik, selalu nunas ica ring bhatare tiga shakti sane melinggih ring dalem, ring pura desa lan ring puseh sane ngamertayang kesidhian”. Artinya: Bibit dalam diri harus dirawat dengan baik, melakukan tindakan atau Dharma sesana Balian atau uger-uger sebagai seorang Pangusadan . Astiti bhakti ring Ida Batara Tiga, khususnya ring Ida Batara Dalem, Desa dan Puseh sebagai jalan untuk memohon kesidhian. Dengan keyakinan yang kuat, dilandasi iman yang kuat bahwa apa yang di lakukannya akan mendapatkan hasil atau berguna di dalam menjalani kehidupan ini, Tuhan Hyang Maha Esa akan mengkabulkan do’anya. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Musbikin (2005:5) bahwa: Pertama melihat tubuh manusia sebagai sistem yang saling berkaitan satu sama lain, ilmu kesehatan holistik sangat percaya pada kemampuan dirinya untuk menyembuhkan dirinya sendiri dengan kemampuan mental; Kedua bila kemampuan mentalnya kuat akan mampu menyembuhkan penyakit fisiknya tetapi kepribadiannya tidak cukup kuat maka dia akan memerlukan seorang kedokter terutama kedokteran holistik. Juga Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara Penelitan Balian Usadha. 26 juni 2016): “Yan sube ke tetelu ento cukulang, ento ane ngeranayang bahagia, ento ane nganayang iraga berpikir dengan penuh rasa syukur, sanhyang tiga ngawe jagat, tri bhuana menadi bumi, artinne Dewa tri murti ane makarya pertiwi, penguasa ketiga bumi menjadikan bumi” Artinya: Kalau ketiga hal tersebut sudah se-energi, itu sebagai penyebab merasa bahagia, sehingga kita selalu berpikir dengan penuh syukur atas karunia-Nya. “Sanghyang tiga ngawe jagat, tri bhuana manadi bumi” artinya “Dewa Tri Murti membuat alam, penguasa tiga alam menjadikan bumi. Hal yang mirip diungkapkan oleh Musbikin (2005:3) bahwa, niat sangat kuat, kekuatan prasangka baik (keyakinan) kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terdapat dalam hadits qudsi, “ Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku”. Jika seseorang memiliki keyakinan yang kuat, dilandasi iman yang kuat, Tuhan Hyang Maha Esa akan menghabulkan do’anya, bukan karena air atau apapun lainnya, tetapi karena keyakinan itu. Lebih lanjut dijelaskan oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar: “Cara ngidupang api ring deweke apange ngantos merasa panes pesu uling telapak limane, perlu latihandengan tekun, gejala yang dipelajari akan berhasil yan sube biasa dilakukan berulang-ulang terus menerus, bukan hanya beratus-ratus kali sakewala beribu-ribu kali, care anak metetaneman perlu ya rawat disiram apang ya terus inget. Cara melajah meditasi harus dilakukan berulang-ulang, yan sube biasa biasane mare negak suba fokus, sube tenang. Keto masih duke ngapalang mantra perlu baca, diucapkan berulang-ulang sehingga begitu negak langsung mengalir berurutan secara atomatis. Melakukan sesuatu secara terus menerus dan berulang-ulang mempengaruhi karakter imanusa”. Artinya: Cara menghidupkan api dalam diri sampai dirasakan panas yang keluar dari telapak tangan (tenaga dalam). Hal tersebut akan terjadi apabila dilakukan latihan dengan tekun, gejala yang dipelajari itu akan berasil apabila sudah dilakukan secara berulang-ulang terus menerus, bukan hanya beratus-ratus kali namun beribu-ribu kali. Pelajaran apapun, bagaikan memelihara tanaman harus dirawat berkali-kali agar benar-benar hidup. Seperti latihan meditasi sebaiknya dilakukan berulang-ulang sehingga pada akhirnya secara automatis begitu duduk sudah langsung terasa nyaman. Begitu juga saat merapal mantra harus dilatih dan diucapkan berulang-ulang sehingga begitu duduk secara automatis terucap dengan lancar dan mengalir berurutan. Kebiasaan melakukan sesuatu dengan tekun dan berulang-ulang akan mempengaruhi sifat sebagai karakter manusia. Untuk memelihara agar tenaga ilahi (tenaga dalam) tetap kuat maka dilakukanlah japa sehari-harinya. Japa yang merupakan formula mistik yang terdiri dari uraian kata-kata pendek, nama kemulihan Tuhan, yang dirapalkan berulang-ulang (Yasa.2009:xxiii), contohnya “Om Nama Siwaya”. Dalam Bhagawad Gita XVII-15 ada disebutkan bahwa: “Manaḥ-prasādaḥ saumyatvaṁ maunam ātma-vinigrahaḥ, bhāva-saṁśuddhir ity etet tapo mānasam ucyate”. Artinya: Pikiran tenang, bersikap lemah lembut, pendiam, mengendalikan diri, jiwa suci, ini semua disebut bertapa dengan pikira. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bibit yang ditanam dalam diri haruslah bibit yang terbaik. Adapun bibit-bibit tersebut diantaranya: Memahami jalan kebenaran, memahami asal mula dari mahkluk hidup, memahami akekat Bhuana Agung dan Bhuana Alit serta keterikatannya, memahami tentang asal mula unsur atman yang terikat dengan tri guna, memahami Dewa Nawa Sanga, memahami Wijaksara, memahami Kanda Pat, memahami Rwa Bhineda, dan selalu ingat kepada Ida Hyang Widhi wasa dengan melakukan japa sehari-harinya. 3.3 Kelompok Belajar Setelah ditanya lebih lanjut tentang sistem atau cara belajar pada jaman dahulu, bahwa Jro Balian Wayan Llar menjawab (wawancara. 26 juni 2016): “Yan imalune hampir setiap banjar ade kelompok kegiatan, kegiatan di sore hari, tusing ja ada tv cara jani, sebagai hiburanne paling melajah, bermain, luas mebalih ilen-ilen, ade liu kelompok melajah tulis menulis, ade kelompok berkesenian metetabuhan, kelompok ngigel (arja, mejangeran, drama, dolanan), nyantra bali (menulis, menyalin, memace) kelompok mebasan miwah tiosan sekadi mejejaitan, waktu luang anggen makekedekan ngisi kedemenan. Bebas memilih kelompok ane demenin, penglingsir atau ane duwegan ngajahin timpalne dengan senang hati”. Artinya: Jaman dahulu hampir setiap banjar ada kegiatan berkelompok, kegiatan di sore hari, tidak ada TV seperti sekarang, sebagai hiburan rutin ya belajar, bermain atau nonton tari-tarian. Ada banyak kelompok belajar tulis menulis, anak-anak kelompok belajar seni musik traditional, ada kelompok menari (arja, mejangeran, drama, dolanan), belajar aksara Bali (menyalin, membaca) dan lainnya seperti belajar membikin alat upakara. Dijelaskan waktu luwang digunakan untuk bergembira mengisi kesenangan. Bebas memilih kegiatan yang disukai, para tetua atau orang yang lebih bisa mengajarinya temannya dengan tulus ihklas. Dikelompok-kelompok itu sebagai wadah untuk mempelajarkan diri sebagai anak nyastra, belajar bagaimana berinstraksi dengan masyarakat, belajar bagaimana bersikap dan bertutur kata. Seperti kebiasaan mencium tangan kepada orang yang lebih tua umurnya. Hal seperti ini sering diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Sampai sekarang pun masih banyak orang tua yang mengajarkan sopan santun, adaptasi adat-istiadat serta tata cara bersikap yang baik. Hal-hal seperti ini akan berdampak positif bagi para remaja. Manfaat kelompok sebagai sarana pembelajaran anak remaja, tempat tumbuhnya rasa hormat dan saling harga menghargai terhadap pada orang yang lebih tua dan kepada sesama remaja yang lainnya. 3. 4 Adanya Aktivitas Nyastra (Berguru) Adanya akti vitas belajar “Nyastra” sebagaimana ditururkan oleh Jro Balian Dalang Lalar (Wawancara, 26 juni 2016), “Menurut Lontar Bodha Kecapi, untuk menjadi seorang Balian harus melewati suatu proses uling melajah (aguron-guron) baik berguru kepada catur guru, maguru uling widhi, imeme-ibapa, anak ane lingsiran atau ane bisaan, maguru ring sekolahan miwah tahat ring aturan pemerintah mwah maguru ring, penuntun spiritual hyang wiku”. Artinya: Menurut Lontar Bodha Kecapi, untuk menjadikan diri orang Balian ada suatu proses belajar (aguron-guron), baik berguru kepada catur guru, berguru kepada Hyang Widhi, ibu dan ayah, berguru kepada orang lebih tua atau kepada yang lebih bisa, meguru di sekolah dan taat kepada aturan pemerinta (hukum yang ada) dan berguru kepada para pengajar spiritual keagamaan” Hal tersebut sesuai bahwa untuk menjadikan diri profesional dibidangnya kita perlu belajar dari mentor, seorang guru sebagai mentor dan penuntun sangatlah penting, bergurulah kepada seseorang yang diyakini bahwa dia mampu menuntun ke jalan yang baik, tidak pernah tercela di dalam kehidupannya, terkait dengan ajaran kediatmikan. Seseorang yang mau belajar ilmu kediatmikan wajib mohon panugrahan kepada Bhatara Guru karena beliau peragayan Sang Hyang Guru Reka . 3.3.1 Berguru Kepada Catur Guru Menurut Jero Balian Dalang Wayan Lalar bahwa: “Ijin yang utama kita dapatkan dari Catur Guru yang merupakan empat jenis guru sebagai pengajar secara alamiah dan wajib”. Beliau menyinggung catur guru itu, antara lain: “ Guru tertinggi dari alam semesta ini tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Guru Param Brahma atau Paramestiguru (Guru Swadyaya) disebut pula guru sejati. Cara mewujudkan rasa bhakti kepada Guru Swadyaya itu antara lain dengan : (1) Selalu ingat kepada-Nya; (2) Melakukan persembahyangan (Tri Sandhya); (3) Berdoa sebelum melakukan kegiatan; (4) Meyakini kebesaran Tuhan; (5) Selalu bersyukur atas karunia-Nya; (6) Mempelajari ajaran ke-Tuhan-an; (7) Melaksanakan upacara piodalan; (8) Ngayah di Pura; (9) Melaksanakan tapa, brata, yoga, samadhi; Menjaga kesucian pura; (10) Mempelajari kitab suci Weda, dan; (11) Medana punia.
Hal yang serupa disebutkan dalam Bhagawad Gītā XVII-14 dan 15 Suhardana.2011:96) bahwa: “Deva-dvija-guru-prajna pūjanaṁ śaucam ārjavam, brahmacaryam ahimsā ca śāriraṁ tapa ucyyate” Artinya: Pemujaan kepada para dewa, para dwijati, guru dan orang yang arif bijaksana; kemurniaan, kejujuran, pengendalian nafsu dan tanpa kekerasan ini dikatakan sebagai tapah dari badan. 3.3.2 Belajar Maguru Waktra dan Aksara Wreastra Menurut Yasa (2013:6).bahwa Aguru Waktra yang merupakan sistem belajar secara tradisi nyastra (Dharmtula = berdiskusi akrab untuk mendapatkan kebenaran), Aguru waktra adalah suatu proses belajar dengan cara mendengarkan langsung dari mulut para guru, apa yang dikatakan oleh guru, guru adalah seseorang yang patut dimuliakan sebagai pembimbing spiritual. Guru perlu sebagai pembimbing sisya dalam belajar secara sekala. Dalam belajar ajaran kediatmikan tanpa penuntun seorang guru yang biasa disebut Nabe, seorang penekun akan sulit mencapai tujuannya, malah akan membahayakan dirinya sendiri. Hal tersebut sesui dengan teks sistem pendidikan aguron-guron, hal initerdapat pada beberapa lontar, seperti pada lontar Śāsana, Śiwa Śāsana, wŗiti Śāsana, aguron-guron, indik Padiksan, ataki-taki Dharma, Krama Madikşa, Śilakrama dan yang lainnya. Dalam lontar agastya parwa (Yasa, 2014: 108), ada dijelaskan syarat seorang guru yang patut (cocok) dijadikan guru spiritual sebagai berikut: “Nahan lwir sang wiku yogya maka gurwa sang wӗnang umilangakӗn pâpa yan sira wiku tuhakena mopawasa, san gӗlӗma lwangi wisaya nitya šuci laksana, jitakrodha ta sira, tan kataman krodha ta sira, bhoganșţrtah, tan kapengin ta sira ring sukha wâhya, shisnu, tuhakene ta sira ahyasa, suci laksana tininghala”. Artinya: Inilah prihal seorang wiku yang patut dijadikan guru: orang yang dapat menghilangkan dosa; ia seorang wiku yang selalu disiplin berpuasa; orang yang tekun mengurangi (mengendalikan nafsu; orang yang selalu menyucikan prilakunya; beliau adalah jitakrodhah, yaitu orang yang tidak dikuasai nafsu marah; bhoganisrtah, yaitu orang yang tidak berkeinginan akan kesenangan duniawi; sahisnu, yaitu beliau yang selalu apik, terlihat suci laksananya”. Dan juga menjadi murid yang baik sebainya mengarahkan telinganya agar mendengar, hal yang patut diperhatikan (“….alihakna telinganta pengrӗngö, nihan kayatnakna…”). ilmu itu hendaknya dipraktekkan dengan penuh disiplin (umabyasa). Karena dengan yoga dan tapa yang disipelinlah keberhasilan akan didapat. Dalam Lontar Tattwa Jnana lembar 36, 42, 50 (dalam Yasa 2014; 109) disebutkan bahwa: “Sangksepanya, makabhŭmi brata, tapa, yoga, samādhi, maka suluh samyagjňāna, makasadhāna prayogasandhi, sira juga sang wӗnang tumkani kawišesan bhatāra”. Artinya: Simpulannya: sebagai dasar adalah (ajaran susiala) janji diri, tahan uji, disimplin dan kontemplasi; sebagai pelita penerang adalah ajaran Tattwa Jňāna: (pengetahuan akikkat kesempurnaan); dan sebagai saranya adalah ajaran prathyaharasandhi; (tahapan yoga yang terjalan harmoni: āsana-praňāyāma-prathyāhara-dhārana-dhyāna-tarka-samādhi). Hanya beliau yang demikian saja yang berhasil mencapai keungulan Bhaţāra. Nala (1994:119) menjelaskan bahwa seorang sisya harus manunggal akene (menyatukan diri = pikiran, pelaksanaan dan hatinya singkrun), sisya bersumpah menjadi satu keluarga dengan gurunya, suka dan duka dibagi bersama, bila gurunya didatangi oleh manusia durjana (orang jahat), sisya wajib melindungi nyawa dan harta sang guru. Sebaliknya jika murid terkena bahaya, sang guru wajib menolongnya. Bahkan disebutkan nantinya bila sudah meninggal, dikalau harus menjelma kembali agar bersama-sama, merasakan baik buruknya. Dari berbagai penjelasan tersebut di atas, sistem aguron-guron yang disebut maguru waktra, sebagai suatu mendapat kecerdasan sekala dan rohani, hal ini sebagai tardisi di Bali dilakukan semenjak masih dini dengan cara mendengarkan secara langsung ajaran para guru dan melihat langsung praktek di lapangan sehingga apa yang diajarkan dapat dipahami secara meyeluruh. Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara. 1 Maret 2016) menyebutkan bahwa: “duke ipidan menulis atau mencatat sesuatu di don lontar, kulit kayu, sebilah bambu atau bahan elenan ane kuat dadi tulisin, ada langah-langah kertas tulis. Yan nulis nganggen aksara Sastra Bali. Tulisan Bali ade aksara dasar biasa (Wreastra dan Swalalita) ada aksara tenget atau suci seperti Wijaksara muah Modre atau seni rerajahan”. Artinya: “Jaman dahulu menulis sesuatu catatan pada buku catatan yang bahannya terbuat dari daun lontar, kulit kayu, sebilah bambu atau sarana lainnya yang mudah ditemukan pada jaman itu jaman langkanya kertas tulis. Sistem tulis menulis pada jaman dahulu menggunakan Sastra Bali. Tulisan Bali yang terdiri dari aksara biasa (Wreastra dan Swalalita) dan aksara suci (Wijaksara dan Modre)”. 3.3.3 Belajar Aksara Swalalita Jro Balian Dalang Wayan Lalar menyinggung bahwa, Aksara Swealita yang merupakan suatu aksara yang dipergunakan dalam kesusastraan Kawi, seperti menulis teks kekawin, teks parwa, Usadha dan lainnya yang terdiri dari hurup hidup (vokal) dan hurup mati (konsonan). Hal yang sama diungkapkan oleh Nala (2006:11) bahwa aksara Swalita terdiri dari empat belas hurup vokal (aksara suara) dan tiga puluh tiga hurup konsonan (Wianjana). 3.3.4 Belajar Pengangge Aksara Bali , Aksara Wijaksara dan Aksara Suci Nala (2006: 5-24) bahwa pembagian aksara itu terdiri dari: 1) aksara biasa yaitu aksara Wreastra (aksara sehari-hari) dan aksara Swalalita (aksara kesusastraan kawi), dan; 2) aksara suci yang terdiri dari Wijaksara (aksara swalalita + aksara amsa) dan Modre (aksara lukisan magis). Kemudian ada pengangge aksara (suara, ardesuara dan tengenan). D isebutkan oleh Nala (2006:15), bahwa pengage suara, pengagge ardesuara dan pengangge tengenan. Pengangge suara digunakan menjadikan konsonan bersuara vokal . Hal serupa dijelaskan oleh Jro Dalang Wayan lalar: “Aksara suci terdiri dari aksara wijaksara /aksara bijaksara dan aksara modre. Aksara-aksara ka anggen simbol-simbol magis religius atau gaib digunakan untuk menyucikan sesuatu”. Artinya: “Aksara suci terdiri dari aksara wijaksara/aksara bijaksara dan aksara modre. Aksara-aksara ini hanya dipakai untuk simbol-simbol magis religius atau gaib digunakan untuk menyucikan sesuatu. Nala (1994:96; 2006:27-28), disebutkan bahwa aksara suci ini memiliki kekuatan gaib atau magis religius untuk menyucikan dan membersihkan sesuatu. Aksara wijaksara/bija aksara sebagai benih dari pada aksara, aksara ini mepengangge berupa ardha-chandra berbentuk bulan sabit ( É ), windu yang melambangkan matahari berupa bulatan (o), dan nada melambangkan bintang yang disimbulkan dengan segi tiga ۸) ), seerti aksara suci dasa aksara (sang, bang, tang, anng, ing, nang, mang, sing, wang, dan yang), panca aksara (mang, ang, ong, ung dan yang), tri aksara (ang, ung, mang), dwi aksara (ang, ah) dan eka asksara (ongkara). Nala (2006:27) aksara suci itu adalah suatu aksara yang digunakan sebagai simbul /manesfestasi para Dewa seperti aksara Ang (Dewa Brahma), ung (Dewa Wisnu), Mang (Dewa Iswara), Om (Hyang Widhi). Seorang Balian harus mengetahui Aksara wijaksara/bija aksara dan pengangge aksara secara menyeluruh sebagai benih dari pada aksara lainnya. 3.3.5 Belajar Rerajahan (Yantra) Nala (2006:28-29) bahwa aksara rerajahan (modre) tersebut ada digabungkan dari beberapa aksara suci dan variasinya, dalam penggunaanya sehingga membentuk suatu kaligrafi yang indah dan terkesan magis, untuk membacanyapun memerlukan panduan dan bantuan orang yang mahir dibidanynya. Hal ini sering digunakan sebagai ulap-ulap dari suatu bangunan, sarana perlindungan terutama dibidang pengobatan Usada. Aksara modre ini akan sangat bermanfaat apabila mampu menerapkannya dengan benar dan tepat. Aksara suci modere ini sebagai simbul atau niasa sebagai aksara untuk berkomunikasi, sulit dibaca dikarenakan memiliki perlengkapan busana aksara dengan berbagai variasinya. Bisa ditulis dengan aksara namun bentuknya bisa menjadi sebuah lukisan atau gambar sebagai suatu perwudan simbul yang berkekuatan magis karena mengandung kekuatan inti dari Para Dewa terutama Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Iswara). Hurup itu seperti Kerakah, kerakah modre, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, aksara suci modere sebagai simbul atau niasa aksara untuk berkomunikasi, digabungkan dari beberapa aksara suci dan variasinya dalam penggunaanya sehingga membentuk suatu kaligrafi yang indah dan terkesan magis, untuk membacanya pun memerlukan panduan dan bantuan orang yang mahir dibidanynya. 3.3.6 Mengetahui Bebantenan , Mudra dan Mantra. Masalah benantenan (arcana) sempat disinggung oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar: “Masalah bebantenan belajar dari kegitan menemani gurunya dan juga secara autotidak dalam kehidupan sehariannya.masalah bebantenan lebih banyak ditekuni memene”. artinya: Untuk belajar tentang sarana upakara dipelajari langsung saat praktek menemani. Kalau masalah sarana upakara lebih banyak dipelajari oleh istrinya. Bebantenan (arcana) disarikan menjadi mudra, yakni berupa sikap laku yg lebih khusus, misalnya sikap asana (sikap duduk yang benar), mudra dan sikap tangan yang bersifat simbolik seperti yang dilakukan sulinggih. Korban suci berupa upakara dengan sarana bebantenan sebagai tindakan yadnya yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Panca Maha Butha (Yasa. 2009:216). Mudra disarikan menjadi mantra,yakni merapal mantra secara baik, mantra disarikan menjadi kuta mantra. Ketika telah berada mantap di tahap ini peminat spiritual hanya perlu mengulang formula yg menjadi inti mantra yg disebut bijamantra. Setelah itu, formula mantra yg disebut bijamantra pun disarikan lagi menjadi pranama mantra “om” , pada “Om” inilah kontemplasi memusat, lalu melangkah setahap demi setahap mencapai niskala (ke tidak bersekatan) tercapailah alam yg disebut satyaloka. Menurut Yasa (2009:xxv ; 221) menulis bahwa Mantra yang merupakan syair suci yang merupakan pola gabungan kata-kata bahasa weda yang diidentikan dengan dewa atau dewi tertentu, untuk menhasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan ritma suara dan warna bunyi yang khas. Mantra diyakini berfungsi untuk menyucikan, mengagungkan Tuhan, dan menghadirkan-Nya dalam berbagai aspek-Nya untuk memberi berkah. Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, bebantenan (arcana) disarikan menjadi mudra, mudra disarikan menjadi mantra, mantra disarikan menjadi kuta mantra, kuta mantra disarikan menjadi menjadi inti mantra yg disebut bijamantra. Korban suci berupa upakara dengan sarana bebantenan sebagai tindakan yadnya yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Panca Maha Butha. 3.3.7 Mempelajari Lontar-lontar Pengobatan Menurut Nala (1994:87-95) lontar-lontar usada itu ada banyak, disebutkan lontar-lntar Usada di Bali ada dua golongan yaitu golongan lontar usada dan golongan lontar tutur (tattwa). Lontar usada berisikan cara-cara memeriksa pasien, memperkirakan penyakit yang diderita, meramu obat, mengobati dan berbagai ritual upakara untuk mencegah dan mengatasi penyakit. Sedangkan lontar tutur (tattwa) berisi tentang ajaran anatomi, phisiologi, falsafah sehat dan sakit, aksara gaib, lambang pengusir penyakit, dewasa penyembuhan dan peraturan tentang sesananing pangusadan, dan lainnya. Lontar tutur atau tattwa ini sudah sangat jarang ditemukan mengingat jaman dahulu lontar ini tenget atau pantang untuk dipelajari terutama sisya yang ilmu kediatmikaannya masih kurang, sehingga kerap kali disembunyikan oleh yang tahu tentang lontar ini, takut yang mempelajarinya menjadi gila. Hal ini sebagai penyebab lontar tutur ini hilang setelah pemiliknya mati (Nala. 1994:93. Lontar-lontar yang mengandung ilmu pengobatan seperti jenis ramuan herbal, cara menyiapkan, cara penterapian ada tiga puluh tiga jenis lontar, adapun lontar-lontar usada itu antara lain: seperti Lontar Usada Budha Kecapi, Lontar Usada Kalimo Usada, Lontar Dharmo Usada, lontar Usada Taru Pramana, Lontar Ceraken Tingken, Lontar Usada Sari, dan lontar lainnya (Yasa. 2014:7). Pembicaraan lebih lanjut dengan Jro Balian Dalang Lalar (wawancara, 26 Juni 2016) bahwa pada dasarnya ada tiga jenis penyakit panas, nyem dan sebaa(antara panas dan dingin). Demikian pula obatnya ada tiga macam, yaitu: Ada obat yang bersifat hangat, tis dan dumelade. Dinyatakan ketiga penyakit dan obatnya bersumber dari Batara çiwa yang memberikan wewenang kepada Batara Brahma, Wisnu dan Iswara. Penyakit panes dan obatnya yang bersifat hangat menjadi tugas dan kewenangan Batara Brahma. Batara Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit nyem dan obat yang berkasiat tis. Batara Iswara mengadakan penyakit sebaa dan bahan obatnya yang bersifat dumelada. Hal tersebut sesuai disebutkan oleh Nala (1994:35-36) bahwa, dalam konsep sehat dan sakit dihubungkan dengan kesaktian para Dewa, terutama Dewa Tri Murti. Dewa Brahma sebagai Dewa api (utpeti = pencipta / melahirkan) dalam ilmu ayurveda Pitta, Dewa Wisnu sebagai Dewa air (stiti= memelihara dan menumbuhkan) dalam ilmu ayurveda Kapha, dan Dewa Iswara sebagai dewa angin (pralina=memusnahkan) dalam ilmu ayurveda vatta/vayu. Bila badan panas maka unsur pitta yang naik penyebabnya Dewa Brahma maka Dewa Wisnu yang mengobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan yang bersifat dingin (tis) disertai japa mantraWisnu, jika badan dingin karena unsur kapha atau penyebabnya Dewa wisnu maka Dewa Brahma yang mengobati untuk memanaskan badannya dengan bahan tumbuhan obat yang bersifat hangat dengan japa mantra brahma, dan bila badan meriang atau sebeha (antara panas dan dingin) karena unsur vayu/vatta atau penyebabnya Dewa Iswara maka pengobatannya menggunakan ramuan yang berkasihat dumelada dengan japa mantra siwa puja atau kombinasi ramuan panas dan dingin menjadikan dumelada. Untuk menjadi sehat seperti semula, maka diberilah obat untuk menyehimbangkan unsur tri dosha (Pitta, Kapha dan Vatta). Hal yang mirip diceritrakan dalam Lontar Usada Sari (dalam Yasa. 2014:8) bahwa Sanghyang Tiga Shakti yaitu Sang hyang Brahma, Sanghyang Wisnu dan Sang hyang Iswara. Beliau adalah hakekat Hyang Kuasa di dunia ini. Dalam ke-usada-an, Beliaulah yang menciptakan penyakit sekaligus menciptakan obatnya, dan beliaulah guru para Balian, tanpa restu-Nya tidak akan berhasil melaksanakan profesinya. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, jenis lontar itu ada dua yaitu Lontar Usada dan Lontar Tutur Usada (tattwa). Lontar Usada berisikan cara-cara memeriksa pasien, memperkirakan penyakit yang diderita, meramu obat, mengobati dan berbagai ritual upakara untuk mencegah dan mengatasi penyakit. Sedangkan lontar tutur (tattwa) berisi tentang ajaran anatomi, phisiologi, falsafah sehat dan sakit, aksara gaib, lambang pengusir penyakit, dewasa penyembuhan dan peraturan tentang sesananing pangusadan, dan lainnya. Berlanjut Ke link: Berlanjut Ke link: Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya II Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Daftar Pustaka sebagai pendukung Kajian Ilmiah: Dikes. 2008. Himpunan Usadha I. Bali: UPTD B POT KOM Ginarsa, Jero Mangku Ketut. 2008. Kanda Pat Bhuta & Pasuk Wetu (salinan Lontar). Denpasar: CV. Kayum Mas Agung Musbikin, Sholeh Imam. 2005. Agama Sebagai Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nala, Ngurah. 1989. Usada Kencing Manis. Denpasar: Upada Sastra. ---- 1994 . Usada Bali. Cetakan III . Denpasar: Upada Sastra. ---- 1989. Ayurweda Ilmu Kedokteran Hindu. Denpasar: Upada Sastra. ---- 2006. Aksara Bali dalam Usada. Denpasar: Upada Sastra Purwanto, Susilo Edy. 2010. Laporan Penelitian: Korelasi Pengider-ider Dewata Nawa Sanga Puniati, ida Ayu Ngurah. 2003. Makna dan Pemakaian Kain Bebali Dalam Upacara Agama Hindu Di Bali. Denpasar: Karya Sastra. Sari, Ketut Pesta Qi Manteb. 2015. Menguak Dahsyatnya Khasiat Ramuan Obat Herbal (Taru Pramana). Surabaya: Paramita. Suhardana, K.M. 2011. Brahman: Eksistensi Perwujudan dan Sifat-Sifat Tuhan Menurut Kitab Suci dan Susastra Hindu Lainnya. Surabaya: Paramita. Sivananda, Sri Swami. 1996. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita. Suhardana, K.M. 2011. Brahman: Eksistensi Perwujudan dan Sifat-Sifat Tuhan Menurut Kitab Suci dan Susastra Hindu Lainnya. Surabaya: Paramita. Wijaya, I Wayan Tirta Guna. 2015. Kajian Filsafat Hindu: Swadharma Balian Ketakson-Usada Pada Era Global Di Desa Payangan, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Yasa, I Wayan Suka. 2004. Brahma Widya Dan Kearifan Lokal Dalam Tattwa Jnana. Tesis (diterbitkan) Denpasar: Pasca Sarjana UNHI Denpasar. ---- 2007. Transliterasi Terjemahan Indonesia Inggris Lontar Usada Bali (Budha Kecapi). Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayanadengan Petenungan Kesehatan. Denpasar: STAH Negeri Mataram. ---- 2007. Teori Rasa; Memahami Taksu, Exspresi & Metodenya. Denpasar: Widya Dharma bekerjasama dengan Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar. ---- 2009. Rasa: Daya Estetik-Religius Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia. ---- , dkk. 2010. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Lembaga Penelitian Universitas Hindu Indonesia. ---- 2013. Aguru Waktra: Membina Kesehatan dan Kearipan. Denpasar : Universitas Hindu Indonesia ---- 2014. Keputusan Usada. Denpasar: Lembaga Penelitian Universitas Hindu Indonesia ---- 2015. Wijaksara Tuntunan Yoga Anak Nyastra Bali. Denpasar: Fakultas Agama Universitas Hindu Indonesia. ...... 2009. Rasa: Daya Estetik-Religius Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia. Yuliana, dkk. 2013. Prospek Pengembangan Ayurveda di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan) Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. Yendra, Wayan. 2002. Sanghyang Budha Kacapi Mahaguru Kanda Pat Bali. Surabaya: Paramita surabaya.
|