Lanjutan dari Link II
Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya
Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Herbal Usadha Taru Pramana
(Bagian III)
Keilmuwan yang dikuasi untuk menjadikan dirinya Balian Usadha yang Mumpuni (III).
3.3.19 Catur Paramita
Dalam perbincangan lebih lanjut dengan Jro Balian Dalang Wayan lalr tentang etika, susila dan agama (wawancara, 26 juli 2016) bahwa Jro Balian Dalang Wayan Lalar menyadari bahwa etika yang dilaksanakannya merupakan suatu tindakan yang tidak terlepas dari empat macam sifat dan sikap utama yan patut dijadikan landasan bersusila atau etika hidup yang disebut Catur Paramita, yang terdiri dari: 1) Sifat suka menolong orang lain yang dalam kesusahan dengan ikhlas (Maitri); 2)Sifat kasih sayang dan cinta kepada sesama tanpa meminta balasan (Karuna); 3) Sifat simpatik dan ramah tamah menghormati oang lain dengan tulus (Mudita); dan 4) Sifat mawas diri, tepa sarira, bisa menempatkan diri, rendah hati (Upeksa).
3.3.20 Catur Purusah Artha
Dalam perbincangan dengan Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara. 26 juni 20016) bahwa kita terlahir di dunia ini tentu ada tujuannya. Menurut ajaran agama hindu dikatakan ada empat tujuan hidup sebagai manusia yang disebut Catur Purusaharta. Beliau pernah katanya membaca dalam suatu kitab Brahma Purana menyebutkan sebagai berikut “Dharma, artha, kama, moksana sarira sadhanam”. Badan yang disebut sarira ini hanya boleh digunakan sebagai alat untuk mencapai Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Dijelaskan bahwa catur purusaharta itu sebagai cita-cita hidup yang terdiri dari (Yasa.2010:200): 1) Kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan dasar agama yang menjadi hidupnya (Dharma) sebagai sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi dan menjadi dasar segala tingkah laku manusia; 2) Segala sesuatu yang menjadi alat /sarana untuk mempercepat dan mempermudah mencapai tujuan (artha), mendapatkan dan memiliki harta mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburnya wiweka ( pertimbangan rasional) sehingga tidak mampu membedakan mana yang benar dan salah; 3) Keinginan untuk memperoleh kenikmatan (Kama), berfungsi untuk menunjang hidup yang bersifat tidak kekal; dan 4) Keinginan untuk mencapai kelepasan atau kebebasan yaitu menyatunya atman dengan Brahman (Moksa), sebagai tujuan yang tertinggi.
3.3.21 Mendapatkan Panugrahan atau Berkat
Menurut penuturannya Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara.1 maret 2016) bahwa “masih sering mendapatkan bisikan niskala, baik melaui mimpi atau kadang sedang menterapi pasiennya seperti rasanya ada suara samar-samar untuk memerintahkan menterapi pada bagian tertentu ditubuh pasien”. Terlihat ada banyak barang petuah yang dimiliki, berbenda-benda gaib berpetuah seperti yang dikatakan bahwa sering ada pasien atau kerabat yang memberikan benda-benda petuah sebagai sarana pengobatan seperti: bambu empet (tanpa lubang), batu mekocok, batu gigi kilap, minyak kerang lunsir dan minyak kerang cukli, bun selimpet, besi belek, umbi banah, berbagai jenis mirah (batu permata tertentu), buluh perindu dan barang gaib berpetuah lainnya.
Penjelasan tersebut selaras dengan yang di tulis oleh Sari (2013.12), bahwa manfaat benda-benda gaib secara mitologi diantaranya: 1) Bambu buntet atau bambu pethuk suatu bambu yang tidak berlubang, dipercaya secara mitologi sebagai penghalau pengaruh roh jahat, memberi kekuatan untuk menahan ilmu hitam; 2) Batu mekocok menurut mitologi sebagai pemberi kekuatan bagi tubuh seseorang yang memegangnya; 3) Batu gigi kilap, seperti batu kapak gengam pada jaman pra-sejarah, fungsinya sebagai sarana untuk mengobati sakit perut manusia; 4) minyak keong /kerang lunsir dan minyak kerang cukli dipakai sebagai minyak penangkal cetik; 5) Bun empet adalah tanaman merambat yang terkumpul dan melilit tak tahu ujung pangkalnya, bila orang yang melangkahi bun empet ini maka tidak tahu arah tujuan yang diinginkannya, berguna untuk membingungkan pencuri; 6) Besi lembek (besi yang seperti karet) berguna untuk kekebalan dari senjata tajam; 7) Umbi banah yang tumbuh dihutan-hutan pegunungan berguna untuk sarana kekebalan tubuh.
Menurut penuturan Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara 1 maret 2016) bahwa: “Panugrahan Ida Hyang Widhdi Wasa bisa dikarena berhasilnya menyatukan Bhuana Alit dengan Bhuana Agung tidak terlepas dengan pengetahuan Dasa Aksara dan Kandha Pat. keberhasilan menyatu unsur-unsur panca mahabutha yang merupakan lima unsur materi tubuh (api/panas, air, angin, akasa, tanah/materi) dengan materi alam semesta menyebabkan terkoneksinya jiwa spirit manusia dengan baik. Bila dasa aksara dan kanda empat dikuasai maka secara automatis sistem cakra-cakra dalam tubuh akan bergerak dengan sempurna sehingga genta pinara pitu aktif” (wawancara, 26 juni 2016).
Hal yang serupa dijelaskan oleh Yasa (2010:213) bahwa sapta Cakra adalah tujuh pusat kesadaran rohani yang diyakini ada di sumsum tulang belakang manusia, yang terdiri dari cakra Muladhara (di ujung tulang ekor), Cakra Swaddhistana (di atas kelamin), Cakra Manipura (di pusar), Cakra Anahata (ditengah-tengah dada), Cakra Wisuddha (di leher/pucuk tulang punggung), Cakra Ajnya (terletak di titik pusat kepala), Cakra Sahasra (diumbun-ubun). Hubungan Panca Mahabutha daru Bhuana Agung ada juga dalam tubuh manusia (Bhuana Alit) sebagai berikut: 1) Daging dan tulang adalah unsur Pertiwi; 2) Darah, air seni, air kelenjar (ludah, dll) adalah unsur apah ‘ air ’ ; 3) Panas badan dan sinar mata adalah unsur teja ‘ sinar ’ ; 4) Paru-paru adalah unsur bayu ‘ angin ’ , dan; 5) Urat syaraf, rambut, kuku, dan 9 buah lobang dalam tubuh: 2 lobang telinga, 2 lobang mata, 2 lobang hidung, 1 lobang mulut, 1 lobang dubur, dan 1 lobang kelamin, adalah unsur akasa / ronga.
Hal serupa disebutkan oleh Nala (2006:143-145) bahwa, unsur-unsur Ongkara atau Pranawa adalah gabungan lambang penyusun ongkara melambangkan Panca Mahabutha yaitu: Nada (berbentuk bintang) pengendali idep (pikiran) angin, Windu (berbentuk surya/ matahari) pengendali sabda (suara perkataan) teja/api, Ardacandra (berbentuk bulan) pengendali bayu (tenaga, gerak) apah/air, yang melahirkan tri kayaparisudha dengan Dewanya Sang Hyang Paramasiwa, Sang Hyang Sadhasiwa dan Sang Hyang Siwa (Suhardana.2011:53). Angka telu (versi Bali) sebagai lambang angga atau badan (Akasa, langit, ether, Pertiwi, bumi, tanah). Semuanya sempurna sebagai unsur-unsur sakti Hyang Widhi.
Menurut Tutur Adhyatmika (Nala. 2008:144) bahwa, setiap lambang penyusun Ongkara ini berstana pada tubuh manusia (bhuawana alit) bagian luar (sekala) seperti: Nada ( | ) berada di ebok (rambut), Windu (͡ ) di sirah (kepala), Ardhacandr ( ͜) di bahu dan kara di dada, angka telu(Ȝ) di badan; Sedangkan dibagian tubuh manusia bagian dalam (niskala) nada ( | ) di empedu (ampru), Windu ( ͡ ) di papusuhan (jantung), ardhacandra ( ͜ ) di limpa dan angka telu (Ȝ) di paru. Setelah semua unsur aksara menunggal menjadi eka aksara ( ) , di dalam tubuh manusia bersthana di umbun-umbun (siwadwara) bersamaan dengan Chandra Sahasrara atau cakra mahkota (sahasrara = seribu), salah satu dari rangkaian cakra kundalini. Di umbun-umbunlah tempat bersemayamnya Sang Hyang Wenang, yang berfungsi mengendalikan semua aktivitas chakra yang ada di dalam tubuh manusia. Ongkara ini sebagai lambang Ida Sang Hyang Widhi, sehingga setiap permulaan suatu mantra diawali dengan Ong atau Om. Sebagai inti kekuatan doa yang mampu menggetarkan dan menggerakkan alam semesta (Bhuana Agung) beserta segala isinya. Lambang O-kara (ini terdapat di niskala dan sekala (sarat lan kasunian) yaitu antara dunia dan kekosongan (ada dan tiada), ada di luar dan juga ada di dalam. Hal inilah yang menyebabkan manusia itu shakti, kehampaan, kesunia lokaan, tanpa perlu numitis kembali karena telah mencapai kekosongan (mokśa) yang merupakan kebahagian tertinggi. Untuk menjadikannya singkrun kesuniaan atau kekosongan ini laksana dharma dasarnia.
Hal serupa disebutkan dalam Bhagawad Gita IX.11 (Pudja. 2013:229) bahwa kita hanya melihat bagian luar perwujudan tubuh manusia, bukan pada yang Ilahi di dalamnya. Kita hanya melihat Tuhan pada penampakannya buka pada bhatinnya. Untuk mengenal Tuhan dalam bhatin perlu usaha keras. Dalam Bhagavata Sri Krsna menyebutkan bahwa:
“Aku hadir dalam semua mahluk sebagai rohnya tetapi tidak menyadari kehadiran-Ku, mahluk-mahluk fana ini membuat peragaan pemujaan gambaran-gambaran” .
Hal ini yang dimaksud simbul sebagai perlambang Tuhan (patung-patung, gambar-gambar atau rerajahan gaib dan sebagainya). Disebutkan pula bahwa: “Avajananti mam mudha manusim tanum asritam, param bhavam ajananto mama butha –mahesvaram” .
Artinya: Karena Aku berada dalam tubuh manusia, mereka yang tolol tidak menghiraukan Aku, tidak mengetahui prakrti-Ku yang lebih tinggi sebagai Penguasa Agung dari segala yang ada.
Hal lain sangat mendasar pula, dalam Lontar JnānaTattwa (lembar 40-41 dalam Yasa, 2014:49) ada menyebutkan bahwa manusia untuk bisa mencapai kesempurnaan hidupnya terakhir yang disebut Anta Wisesa dengan ajaran Sang Hyang Tattwa Jňana dijadikan sesuluh hidupnya dan Sang Hyang Prayogasandhi menjadi sadananya.Asas materi yang dikembangkan menjadi badan Sang Hyang Ātmâ inilah yang disebut ambӗk dalam diri manusia. Ambӗk ini sebagai sarana berpikir yang digunakan untuk berpikir oleh Sang Hyang Ātmâ. Ambӗk ini sebagai penyebab manusia melakukan perbuatan baik dan buruk, suka dan duka, tummimbal lahir, mengembara dan lainnya. Amb ӗ k ini dipandang sebagai kumpulan pahala perbuatan, sebagai penyebab akar segala pahala perbuatan (menderita atau bahagia).
Menurut Upanisad I.7 (dalam Siwatattwa, Anonim.1999:27) disebutkan:
“Yatjorṇa Nābhiḥ sṛjate gṛhnate ca,
yathā pṛthivyām oṣadhayas sambhavanti,
yathā sataḥ puuṣāt keśalomāni, Tathākṣarāt sambhavatīha viśvam”
artinya:
“Seperti laba-laba mengeluarkan dan menarik benangnya, Seperti tumbuh-tumbuhan bahan obat tumbuh di bumi,
Seperti rambut tumbuh di kepala, dan badan orang, demikian alam semesta muncul dari Tuhan”.
Hal ini yang mendasari manusia selalu mengembangkan kesadarannya untuk berusaha mengendalikan dan mengarahkan pikirannya dengan sedana mengamalkan ajaran yoga, yang disebut Hyang Tattwa Jňana menjadikan sesuluh dalam hidupnya agar manunggal dengan Sang Diri Sejati. Hal ini yang mendasari Sang Diri Sejati mengamalkan ajaran Prayogasandhi dengan cara membatinkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi (Tattwa Jnana 42-43 dalam Yasa. 2014: 51).
Tuhan sebagai penguasa memberikan dan menarik kembali isi semesta ini, hal inilah yang mendasari bahwa kita harus selalu ingat kepada pemiliknya dan berbhakti dengan sealu ingat dan memelihara milik-Nya. Kita harus mengendalikan hawa nafsu yang liar, agar alam ini terjaga dengan baik. Dalam tahapan ajaran Prayogasandhi (Jnana T attwa 43-49 dalam Yasa 2014: 52 ; Siwatattwa. Anonim.1999:70-75), ada disebutkan sebagai berikut: (1) Āśana, yaitu sikap duduk; (2) Prānāyāma, yaitu mengendalikan pikiran guna untuk membina kesehatan diri dan meredakan pengaruh sifat rajas dan tamas; (3) Pratyāhara, yaitu menarik indra dari objek kesukaannya dan dipusatkan pada cita yang terang; (4) Dharāna, yaitu pikiran dipusatkan pada Om kara di hati, menjadikan pikiran agar tetap sadar dan mensucikan diri dari segala noda; (5) Dhyāna, yaitu pikiran terpusat dalam kesadaran roh, tidak goyang, hening, dan terang; (6) Tarka, yaitu renungan mendalam tenang dan dalam; (7) Samādhi, yaitu suatu kesadaran kosmik sang yogi yang menjadikan sang Hyang Ātmâ menjadi maha tahu, maha karya, maha sempurna dan maha kuasa.
Menurut Yasa (2013:40-41) menyebutkan dalam Brahmawidya (TeksTattwa Jnana) bahwa, mengamalkan ajaran Prayogasandhi dengan cara membatinkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi. Hal tersebut dilakukan agar kesadaran menjadi manunggal, sebab kesadaran adalah perwujudan bhatara di alam nyata, manusia harus menyadari bhatara dalam segala tingkah lakunya. Bila sang yogi yang telah berhasil mencapai samādhi (berhasil mencapai yoga wisesa) maka dia akan mampu menguasai astaiswarya dengan ciri- ciri sebagai berikut: (1) Animā yaitu dapat mengubah wujud menjadi besar, kecil atau gaib; (2) Laghimā yaitu tubuh sang yogi dapat menjadi ringan atau berat; (3) Mahinā yaitu dihormati dimana-mana; (4) Prāpti yaitu segala kehendaknya terwujud; (5) Prakāmya yaitu dapat merubah wujud sekehendaknya terwujud; (6) Iśitwa yaitu dapat memerintah dewa; (7) Waśitwa yaitu tidak ada yang menentang kehendaknya; (8) Yatrakāmawasāyitwa yaitu dapat mengutuk dewa dan menentang kehendaknya. Hal inilah yang mendasari para pangusada memiliki kelebihan keilmuan yang kadang sulit dilogikakan seacra kasat mata.
Menurut ajaran Bhuana Kosa (dalam Siwatattwa. Anonim. 1999:92) disebutkan kesempurnaan bathin dari orang yang melaksanakan yoga atau para yogiswara dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ada disebutkan lebih lanjut sebagai berikut:
"Nihan wuwus ni ngulun i kita sang mahayogi, Sia tumon bhatara parameswara, sateja lawan tejaning aditya sayuta,
Mangkana ri sarira nira mwang ri hati nira " (Bhuwana Kosa. I.3)
Artinya: "Begini penjelasan kepadamu, orang yang telah mencapai tingkat yoga tertinggi, ia melihat bhatara parameswara, yang sama dengan cahaya matahari sejuta di dalam diri dan dalam hatinya".
Hal yang serupa diungkapkan dalam penjelasan di kitab Bhagawad Gītā VII-17 dan 18 (dalam Pudja: 2013:194) dijelaskan bahwa, selama kita masih sebagai orang pencari, kita masih berada dalam dunia dualitas, tetapi apabila kita telah mencapai kebijaksanaan, tak ada lagi dualisme tersebut. Orang-orang bijak menyatukan dirinya dengan Sang Diri sebagai Hyang Tunggal pada semuanya, bahwa:
“Teşām Jñanī Nitya-yuktā eka-bhaktir viśişyate, priyo hi jñānino ‘tyartham aham sa ca mama priyah”.
“Udārāh sarva evaite jñani tv ātmaiva me matam, āsthitah sa hi yuktātmā mam evānuttamām gatim”.
Artinya:
Diantara mereka yang bijaksana, yang selalu memusatkan pikiran dan berbhakti pada yang satu adalah mulia, sebab itu dialah yang aku sangat kasihi dan dia kasih kepadaku. Mereka semua adalah mulia, tetapi yang berilmu yang ku pandang sebagai diri-Ku; karena ia selalu mantap dalam pikiran, hanya berlindung kepada-Ku saja, sebagai tujuan tertingginya.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa, dalam beragama setiap orang bebas bersembahyang atau memuja menurut keinginannya dan apa yang diajarkan kepada mereka yang teguh iman, karena semuanya itu diajarkan oleh-Nya juga. Segala wujud adalah dari Yang Maha Esa. Pemujaan mereka adalah pemujaan Yang Tertinggi, pemberi segala pahala adalah Yang Tertinggi itu juga. Hal ini tertuang dalam diungkapkan Bhagawad Gītā VII- 21 dan 22 (dalam Pudja: 2013:196-197) bahwa:
“Yo-yo yam-yam tanum bhaktah ‘raddhayarcitum icchati, tasya-tasya ‘ calam tam eva vidadhamy aham”.
Sa taya sraddhaya yuktas tasyaradhanam ihate, labhate ca tatah kaman mayaiva vihitan hi tan”.
Artinya:
Apapun bentuk pemujaan yang ingin dilakukan oleh para bhakta dengan penuh keyakinan, aku menjadikan bentuk keyakinannya itumenjadi mantap.
Berpegang teguh pada kepercayaan itu, mereka sibuk pada keyakinan wujud itu pula dan dari padanya mereka memproleh yang diharapkan, yang sebenarnya hanya dikabulkan oleh-Ku.
Pada penjelasannya lebih lanjut (wawancara.1 maret 2016), “ Sebagai seorang Balian Usada tidak terlepas dari permohonan tuntunan kepada-Nya, hal ini mendasari dilakukan nyeraya taksu atau ngelinggihang palinggih taksu, sebagai tempat atau jalan menghubungkan diri kepda-Nya. Di depan pelinggih taksu duduk hening atau menghubungkan diri dengan-Nya.
Hal ini ada kemiripan dengan yang diungkapkan oleh Yasa (2007:1) bahwa, daya spiritual ‘kerja kreatifnya untuk menemukan, memahami, dan menyatu dengan realitas’ yang disebut Karmayoga. Hal ini mendasari dengan tekun ‘ulah apageh’, memutar kesadarannya secara benar ‘amuter tutur pinahayu’ dengan menghandalkan tiga cara kerja terpadu: rasāgama buddhi tĕpĕt ‘(1) rasa- (2) agama- (3) buddhi yang tepat untuk mengalami realitas, yakni realitas yang suci, dari sudut pandang ‘imajinasi’ ia mengalami sudharam ‘keindahan’, siwam ‘kebajikan’ dan dari olah dalam buddhi tĕpĕt ‘berpikir yang benar ‘ ia mengalami satyam’. Dalam terminology Hindu satyam-siwam-sundharam ‘kebenaran-kebajikan-keindahan’ adalah dimensi realitas suci.
Kedamian akan tercapai dengan menyerahkan diri sepenuh hati kepada Tuhan. Hanya kepada Tuhan mencari perlindungan (Saranam gaccha), semua yang diperoleh dari perlindungannya yang merupakan anugrah-Nya. Menggunakan diri dalam pelayanan ke pada Tuhan, mendapatkan sinar cerah tanpa bayangan kegelapan, keselarasan sempurna dan kebahagiaan tertinggi. Dalam Bhagawad Gita XVIII - 62 dan 65 (dalam Pudja. 2013: 439-441) disebutkan:
“Tam eva śaranaṁ gaccha sarva-bhāvena bhārata, tat-prasādāt parāṁ śāntiṁ sthānaṁ prāpsyasi śāśvatam.
Mam-manā bhava mad-bhakto mad-yājī māṁ namaskuru, mṁm evaişyasi satyaṁ te pratijāne priyo ‘si me”
Artinya:
Berlindunglah engkau hanya kepada Tuhan, dengan seluruh jiwa ragamu, wahai bharata dengan restu-Nya, engkau akan mencapai kedamaian tertinggi dan tempat yang kekal abadi. Pusatkan pikiranmu pada-Ku, jadilah bhakta-Ku, berkurbanlah untuk-Ku, bersujud kepada-Ku, dengan demikian engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji setulusnya padamu, sebab engkau terkasih bagi-Ku.
Jro Balian Dalang Wayan Lalar begitu me yakinibahwa jalan mendapatkan pahala dari pemberian oleh Yang Maha Tertinggi, hal inilah yang mendasari dilakukan nyeraya taksu atau ngelinggihang palinggih taksu, sebagai tempat atau jalan menghubungkan diri kepada-Nya yang dimuliakan.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa dari semua penjelasan di ataslah yang menjadikan penyebab Jro Balian Dalang Wayan Lalar menjadi pangusada karena dibentuk dari karakter / watak gen keturunan, diperkuat oleh faktor lingkungan dan dorongan dari keyakinanyang kuat dengan apa yang lakukannya akan mendapatkan hasil yang berguna di dalam menjalani kehidupannya. Bergabung dengan komunitas maguru waktra.Suatu jalan mendapat kecerdasan sekala dan rohani (niskala), tradisi nyastra dengan cara mendengarkan secara ajaran para guru dan melihat praktek langsung sehingga dapat dipahami secara meyeluruh. Yasa kerti sebagai bibit yang ditanam diantaranya: Memahami akekat Bhuana Agung dan Bhuana Alit serta keterikatannya, memahami asal mula unsur atman yang terikat dengantri guna, mempelajari dan memahami aksara dasar, swalalita, pengangge aksara, memahami simbol aksara suci danrerajahanserta pemanfaatnnya, paham bebantenan, mudra dan mantra, memahami isi lontar usada, pemahaman Ilmu kediatmikan, Dewa Nawa Sangaatau Dasa aksara, dasa bayu,sastra sanga dan pengringkesnya manunggal menjadi aksara tunggal, mempelajari gegelaran, merangsuk kanda pat, melaksanakan ajaran yoga sastra, melatih jenana Katikelaning Genta Pinarah Pitu, dan kesadaran spiritual ‘Bodha kecapi’ , Tekun melatih ajaran astangga yoga . Hal itu dilakukan untuk m ewujudkan dimensi realitas suci untuk tercapainya satyam-siwam-sundharam ‘kebenaran-kebajikan-keindahan. Dari p emujaan yang diyakini merupakan jalan mendapatkan pahala kediatmikaan yang diberikan oleh Hyang Widhi Wasa. Hal tersebut mendasar setelah dikaji ulang dengan Teori Religi dengan komponen utama sebagai berikut 1) emosi; 2) sistem keyakinan; 3) sistem ritual dan upakara; 4) peralatan ritual dan upakara; dan 5) umat beragama. Dan kajian pendukung teori fungsional struktural bahwa sistem yang dilakukan mampu beradaptasi, pencapaian tujuan, terintegritas dan sistem polanya terpelihara dengan baik.
Kembali ke link: Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya II
Penyebab Menjadi Balian / Usadawan Dan Keilmuwan - Keahliannya I
End
Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Herbal Usadha Taru Pramana
(Bagian III) 25 Mei 2019