Peramalan Penyakit atau Cara Mendiagnosis suatu Penyakit Dalam Usadha Bali
Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Herbal Usadha Taru Pramana
Kesehatan adalah faktor penentu pertama hidup bahagia, moralitas, kekayaan sebagai penentu pendukung. Hanya dalam kondisi sehat orang dapat beraktifitas dengan baik, baik untuk kehidupan duniawi maupun kehidupan spiritual. Menurut Patanjali (dalam Yasa. 2009:350)bahwa, penentu kesehatan adalah pengendalian diri. Pengendalian dalah hal ini terhadap makanan, minuman, kebersihan diri dan lingkungan melalui olah fisik, napas, dan pikiran.Kalau sampai sakit harus disembukan dari sakitnya, tentunya langkah pertama yang dilakukan adalah mencari penyebab penyakit (mendiagnosis), jenis obat digunakan untuk mengobati (jenis cara penyiapan ramuan) dan cara mengobatinya (tindakan menterapi).
4.1 Cara Mendiagnosis
Menurut penuturan Jro Balian Dalang Wayan Lalar (Wawancara) saat mendiagnosis pasiennya menyebutkan: “Balian/Pangusadaitu memiliki arti kiasan, ayue lian-lian, telektekangape karanan ia sakit, ape ngranahang katiben sakit, mungkin kaduken Dewa atauulian ulah manusia jahil”
Artinya: Jangan lain-lain, lihat dengan sungguh-sungguh apa penyebab suatu penyakitnya, apa karena penyakit disebabkan karena disalahkan Dewa atau ulah manusia jahil). Setelah diobatai dan pasiennya sembuh disarankan untuk dilukat (dibersihkan dengan air suci yang dibuat oleh Balian/ Pangusada. (wawancara, 01 maret 2016).
Hal serupa ditulis dalam teks Boda Kecapi Putih (dalam Sukayasa. 2014: 99-100 dan Nala.1994: 158-159) bahwa, Dharma Sasana Balian (sesana Balian) yang harus dijalankan. Pendiagnosisan yang dilakukan oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar sebagai berikut:
4.1.1 Wawancara, Pengamatan Langsung dan Tenung.
Dalam mendiagnosis suatu penyakit yang pertama tentunya dengan menanyai pasien yang datang, lebih lanjut Jro Balian Dalang Lalar menuturkan (Wawancara 1 Maret 2016) bahwa: “Apang tawang sakit pasien, takonin ya apa ngeranayang teka mai , takonang apa keluhane, tinggalin kelainan di awakne, dingoang kelainan munyinne, terus ditenung”
Artinya: “Agar tahu penyebab dia datang, tanayakan apa penyebabnya datang ke rumahnya, apa keluhannya, lihat kelainan yang ada di badannya, dengarkan kelainan suara/bunyinya, baru di ramal”.
Hal ini tentunya dengan menanyakan langsung (wawancara/anamnesis) dan pengamatan yang mendalam yang dilakukan terhadap yang sakit. Lebih lanjut dikatakan: “Setelah ditanyakan keluhannya, pengecekan dilanjutkan dengan menggunakan kekuatan tenung/ penerawangan dengan mengucapkan mantra-mantra gaib dalam hati, mohon dengan mengucapkan dasa aksara dandipangil nyamapat. Pemeriksaan fisik seperti melihat aura tubuh, sinar mata, warna kuku dan kulit, lidah dan mulut. Dari hasil kesimpulan akan ada penyimpangan-penyimpangan”.
Hal serupa disampaikan oleh Yuliana, dkk (2013: 149) bahwa, melakukan diagnosis dengan berbagai cara seperti: a) Praktyaksa Pramana yaitu cara mengetahui penyakit dengan memeriksa langsung melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rabaan; b) Anumana Pramana, yaitu cara mengetahui penyakit dengan melihat tanda-tanda saja, lalu menarik kesimpulan. Umpama dengan melihat tinja atau dahak, penyakit bisa diketahui dan; c) Sabdha Pramamana, yaitucara mengetahui penyakit dengan mendengar keterangan pasien dapat diketahui penyakitnya.
Hal tersebut sesuai yang diungkapkan Ida Bagus Suatama (dalam Yuliana. 2013: 189) bahwa seorang Balian/Pangusada paling tidak mengetahui pengetahuan Roga Pariksa. Pengetahuan ini ada pada Lontar Usada Tetengerin wong Agering. Untuk mengetahui orang sakit yang diperiksa kelainan yang berada pada matanya (Netra Pariksa), denyut nadinya (Nadhi Pareksa), lidah dan mulutnya (Jihwa pariksa), Kukunya (Naka Pariksa), Air seni (Muta Pariksa) Feces (Nala Pariksa), Warna Kulitnya (Carma Pariksa). Bila warna mata merah berarti terjadi infeksi di dalam tubuh (panas), bila warna mata kuning berarti mengarah pada hevatitis A, B atau C, Bila warna mata biru maka mengarah pada penyakit jantung, bila matanya berwarna pucat pasi berarti tekanan darahnya rendah. Untuk pemeriksaan nadhi akan terasa tekanan keras, lemah, tersendat-sendat, tidak teratur sebagai tanda lemah atau tidaknya tenaga yang dimiliki. Untuk lidah dan mulut, bila agak berbau, ditengah-tengah lidah lembab dan berwarna putih berarti menderita penyakit pencernaan, bila memerah di pinggir lidah dan bergerigi berarti ada masalah di peredaran darah atau jantung panas. Begitu juga pada kuku, menampakkan warna yang keriput dan seming leteg (warna pudar) sebagai tanda peredaran darah tidak begitu baik sebagai tanda bahwa pasien keadaan sakit.
Hal serupa disebutkan dalam Lontar Usada Ceraken Tingkeb (Dikes I. 2008:90-91) tanda-tanda penderita penyakit, ketahuilah ciri-cirinya, lihat matanya orang yang sakit, bila putih matanya agak kemerah-merahan (garis berdarah), hitam matanya berwarna gading (kuning tua), panas orang itu; bila putih matanya agak biru, dingin orang itu; bila dadanya ditekan, terasa bergerak (paketugtug), tenaganya keluar dari hidung terasa panas, panas orang itu; bila tidak beregrak dadanya, tenaganya keluar dari hidung dingin, dingin orang itu; bila jari-jari kakinya dingin, tenaganya keluar dari hidung terasa panas, panas di dalam namanya; bila panas jari-jari kakinya, tenaga keluar dari hidung dingin, dingin di dalam namanya; bila udara yang keluar dari hidung panas dan jari-jari kakinya panas maka penyakitnya panas terus; bila nafas dari hidung dingin dan jari-jari kaki dingin maka penyakitnya dingin terus, bila terasa panas dadanya, itu namanya sebehe(Nala. 1994:204).
Hal serupa disebutkan oleh Yendra (2002: 87), bahwa ciri-ciri orang terkena penyakit pepasangan atau desti ada banyak tanda yang diperlihatkan diantaranya: Ada yang tenaganya (bayu) kecil, jalan sebentar sudah capai, badan kurus, pikirannya tidak menentu, kaki panas dan uyang, tidak bisa tidur dengan baik, rasa / bayunya terpencar serta terasa pegat-pegat, badan lemah, bila bayunya runtag serta amancur dan kebiah-kebiuh tandanya diserang penyakit tiwang. Kalau bayunya terasa tipis dikulit, badan terasa sakit dominan karena penyakit terkena pepasangan, bayunya kecil, terlihat kencang namun gemeteran, tangan dan kaki lemah ciri penyakit terkena pepasangan rerajahan.
Dari penjelasan tersebut di atas cukup jelas bahwa, tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab penyakit karena perbuatan manusia ugig atau jahil, selain penyebab penyakit karena faktor alamiah seperti: faktor cuaca, faktor lingkungan, keteledoran, faktor umur/fisik, faktor pekerjaan yang tidak sesuai kemampuan tubuh, faktor pikiran dan faktor lainnya.
Jadi dari berbagai penjelasan tersebut di atas bahwa pendiagnosisan dilakukan dengan wawancara, melihat langsung / memperhatikan kelainan tubuh pasien dan tenung.
4.1.2 Mendiagnosis Berdasarkan Penyebab Penyakit
Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara, 01 maret 2016) juga mengungkapkan: “Disamping menanyakan langsung ke pasien dan memperhatikan atau membaca keadaan ciri sebagai kelainan dari pasien sebaiknya mengetahui, apangerananyang ia sakit, apang tusing salah ngemahang ia obat.
Artinya: “disamping kita menanyakan langsung ke pasien, kita harus tahu penyebab dari terjadinya suatu penyakit agar tepat memberikan obat”(wawancara, 01 maret 2016).
Menurut Nala (1994:173), secara umum penyebab penyakit itu meliputi: 1) Penyakit yang penyebabnya berasal dari dirinya sendiri seperti penyakit keturunan, penyakit dari dalam kandungan, dan ketidak seimbangan pada unsur penyemhimbang tubuh yang disebut Tri Ala (panes, dingin, dumelada); (2) Penyakit yang penyebabnya berasal dari pengaruh lingkungan luar, seperti pengaruh musim, gangguan niskala / supranatural (bebai, gering agung) dan pengaruh sekala; dan (3) Penyakit yang disebabkan oleh benda tajam, gigitan binatang, kecelakaan sehingga menimbulkan luka (Nala.1994:191). Lebih lanjut dipaparkan bahwa penyakit panes dengan ciri-ciri sebagai berikut: putih matanya berwarna gading; air kencingnya berwarna kuning, bayu pada hidungnya kencang, merasakan badananya panas, keluar bayu kabetbet. Penyakit nyem dengan ciri-ciri pupil matanya sebuh (kebiru-biruan), serta pucat, tidur dan makan tidak enak, bila salah mengobati bisa menjadi tiwang atau sula. Penyakit sebeha (penyakit nyalah para) dengan ciri-ciri mata tampak agak putih, bibir kering, makan dan minum merasa tidak enak, daging/otot-otot dingin tetapi uratnya panas (nala. 1994:204).
Hal serupa juga disebutkan oleh Nala (1989:165-173) bahwa dalam ilmu ayurveda bahwa bila dhatu (jaringan tubuh) akan menjadi rusak bila kesehimbangan Tri Dosha hilang antara unsur api (Pitta), unsur angin (Vatha) dan unsur air (Kapha).
Berdasarkan sistem kepercayaan masyarakat Bali (Nala 1994:191-203)ada penyakit fisik (sekala) dan penyakit nonfisik (niskala). J enis penyakit sekala yang umum dikenal masyarakat Bali adalah sebagai berikut.
(1) Penyakit Dalem (Dalam), yakni jenis penyakit atau gangguan yang menimpa seseorang yang menunjukkan gejala-gejala dalam tubuh bersangkutan terasa panas atau dingin berlebihan, atau perubahan unsur panas-dingin dalam tubuh secara mendadak.
(2) Barah (Bengkak) yang terjadi di bagian-bagian tertentu dari anggota badan.
(3) Mokan (badan bengkak dan terasa sakit).
(4) Buh (perut bengkak dan berair).
(5) Pemalinan (bagian tertentu dari badan, seperiti punggung, perut, dan dada terasa sakit pada seperti ditusuk-tusuk).
(6) Sula (sakit melilit di perut yang secara medis disebut gejala kolik)
(7) Belahan atau puruh (sakit seperti ditusuk-tusuk di bagian kepala sampai ke mata}
(8) Tilas Naga dan tilas bunga (penyakit kulit yang biasanya menyerang kulit di bagian pinggang, yang memiliki tanda-tanda khas yang disebabkan oleh jamur. Tilas bunga penyakit kulit yang hampir sama dengan tilas naga, tetapi menyerang pada bagian tubuh lain, di luar bagian pinggang.
(9) Tuju (bengkak-bengkak yang terasa ngilu pada sela-sela persendian kaki dan tangan)
(10) Tiwang (sakit ngilu atau kejang pada kaki atau tangan)
(11) Upas (gatal-gatal pada tubuh yang disebabkan oleh bulu binatang, jamur, atau getah / bulu pohon tertentu).
Hal lain penyebab penyakit niskala ini, menurut kepercayaan orang Bali disebabkan oleh factor manusia dan mahluk gaib seperti:
(1) Leyak/desti, yaitu penyakit yang disebabkan oleh manusia jahat yang dengan kekuatan gaibnya telah berubah rupa menjadi binatang tertentu (kera, babi, anjing kurus, rangda, dll) yang dengan perubahan wujud itu mendatangi orang yang dituju, yang akhirnya menyebabkan sasaran atau korban menjadi sakit (Nala.1994:180) .
(2) Cetik , yaitu racun gaib yang telah masuk ke tubuh seseorang lewat maknan atau minuman, baik yang ditaburi langsung pada minuman atau makanan tersebut, maupun dikirim secara gaib atau dengan kekuatan supranatural, sehingga orang minum racun tersebut menjadi sakit, dan bahkan menyebabkan kematian.
(3) Teluh, yaitu makhluk mirip manusia yang diciptakan dan telah memiliki kekuatan magis yang dikirim oleh seseorang untuk memasuki raga atau jiwa orang yang dituju, sehingga menyebabkan orang tersebut menjadi sakit. Papasangan (Penyakit disebabkan oleh benda yang berkekuatan magis yang di tanam di tempat orang yang dituju) (Nala.1994:189)
(4) Trangjana/acep-acepan, yaitu jenis penyakit yang diderita seseorang yang disebabakan oleh ulah orang sakti atau berilmu dengan cara ngacep (mengipnotis dari jarak jauh orang yang dituju), sehingga yang bersakutan menjadi sakit (Nala.1994:189).
(5) Bebai, yaitu sejenis binatang yang diciptakan oleh Balian / Pangusada sakti yang memiliki kekuatan magis, yang disuruh masuk ke dalam badan orang yang dituju, sehingga menyebabkan orang yang bersangkutan terganggu jiwanya atau menderita bebainan(Nala.1994:185).
Menurut Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara, 01 maret 2016), sempat menyinggung bahwa penyakit yang disebabkan oleh ulah atau laku (tingkah lakunya) seperti:
“(1) Mala adalah sakit/gangguan kesehatan pada mental/pikiran individu yang disebabkan oleh adanya gangguan bio-psikologis dan karena faktor non-biomedis berupa kekuatan supranatural;
dan (2) Letuh,yakni gangguan fisik atau mental yang dialami seseorang karena faktor bawaan dari sejak lahir dan atau muncul kemudian sebagai akibat dari faktor supranatural (hukum karma/karma wesana), perbutan yang dilakukan pada kehidupan tergahulu dan harus dijalani pada kehidupan sekarang, sehingga seseorang mengalami jenis penyakit tertentu yang sulit untuk disembuhkan”.
Ada pula disinggung suatu penyakit akibat tekanan fisikis bisa juga pengaruh skala dan niskala seperti:
( 1 ) Buduh atau gila atau stress yang dengan tingkat keparahan tertentu, yaitu (1) uyang (gelisah), (2) suka mengigau, (3) suka lari dari rumah, (4) ngamuk atau melakukan tindakan kekerasan tanpa sadar, atau melakukan tindakan abnormal lainnya.
( 2 ) Bebainan (sejenis gangguan jiwa yang dialami seseorang yang menunjukkan perilaku abnormal secara tiba-tiba, seperti menangis, tertawa, berteriak-teriak, memanggil-manggil nama seseorang, atau orang yang sudah mati, dan tanda-tanda lainnya ).
( 3 ) Beda, suatu jenispenyakit yang bisa menyerang baik fisik maupun jiwa (nonfisik) seseorang yang gejala-gejala dan penyebabnya secara medis baik oleh dirinya maupun praktisi medis tidak diketahui secara pasti, namun yang bersangkutan secara fisik dan mental tampak kurang sehat, atau merasa kondisi kesehatannya terganggu secara tiba-tiba tanpa diketahui sebab-sebabnya secara jelas. Secara umum jenis penyakit ini menunjukkan tanda-tanda, antara lain, tampak pucat dan lemah, kadang-kadang pinsan secara tiba-tiba, kepala terasa sakit sekali, gelisah, sering mimpi buruk, sukar tidur, cepat marah tanpa alasan, dan lain-lainnya.
Hal ini sesuai dengan yang diungkap oleh Puniati (2003:25) bahwa upacara manusa yadnya (megedong-gedongan, bayi lahir, kepus puser, dua belas harian dan seterusnya sampai upacara perkawinan) yang merupakan korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir dan bathin, serta memelihara secara rohaniah hidup manusia mulai dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidup manusia.
Ada pula penyakit yang disebabkan oleh mahluk gaib seperti: Kepongor, yaitu gangguan jiwa yang diderita seseorang yang disebabkan oleh kemarahan roh-roh leluhur mereka akibat dari keluarga bersangkutan telah melalaikan kewajiban agama atau adat yang menjadi tanggung jawabnya dan bisa juga karena disalahkan leluhurnya (Nala.1994:172).
Tentunya apa yang diungkapkan oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar memiliki dasar bahwa di dalam melakukan pengobatan terhadap pasien yang datang juga harus tahu penyebab penyakit sehingga lebih mudah melakukan terapi dan pembuatan ramuannya. Beda penyebab penyakit yang menyebabkan beda pula cara menterapi dan beda pula jenis ramuan sebagai cara pengobatan dan mantra-mantra yang digunakan. Jadi dari berbagai penjelasan tersebut di atas bahwa, sebagai penyebab penyakit karena: penyebab penyakit karena keturunan, pengaruh cuaca, akibat dari perbuatannya sendiri, akibat dari benda-benda tajam, akibat dari pengaruh sekala-niskala (keponggor), atau penyakit karena perbuatan manusia jahil (desti).
4.1.3 Mendiagnosis Berdasarkan Tetenger Datangnya Pasien.
Berdasarkan catatan yang ditulis oleh Jro Balian Dalang Wayan Lalar dengan rapi dalam aksara Bali, tertulis dengan jelas, tertanggal 24 Juni 2010, hari minggu, wuku landepditulis beberap hal tentang tetenger tamu yang datang berobat ke rumahnya, hari apa pasien datang ke rumah Balian/ Pangusada, jam berapa datang, berbusana warna apa dan posisi kaki waktu datang. Beliau sempat menjelaskan sebagai berikut:
Pada hari Minggu:“Ritatkala dina redite; Yan tamiyune teka uling kaja, wenten baos sane kabuat, mapitulungan sane becik. Yan rauhne sakeng kelod, kabecikan dados kekaonang, yan uling kauh rauhnyane, kekawonan iwang tampi”
Artinya: Pada hari Minggu, Kalau ada orang datang dari utara, ada sesuatu yang diperlukan, bantu sebaiknya. Kalau datangnya dari selatan, maksud baik dianggap tidak baik. Kalau datangnya dari barat, bisa-bisa menjadi tersinggung.
Pada hari Senin:“Ritatkala dina soma: yan tamiyu rauhnyane saking kaler, kabecikan kakawonang. Yang tamiyune rauh saking kangin, pituluungan sane becik. Yan tamiyune rauh saking kelod, wentos bebaosan sane dahat. Yan tamiyune rauh saking kauh, kekawunan iwang tampi”
Artinya: Kalau pada hari senin: kalau ada orang datang dari utara, hal yang baik akan menjadi jelek. Kalau datannya dari timur, bantuan yang sangat baik. Kalau yang datang dari selatan, ada sesuatu pembicaraan penting. Kalau datangnya dari barat bisa-bisa pikirannya tersinggung.
Pada hari Selasa:“Ritatkala dina anggara: yan tamiyune rauh saking kaler, kabecikang kakawonang. Yan tamiyune rauh saking kangin, pitulung sane becik. Yan tamiyune rauh saking kelod, wenten baos sane sarat. Yan tamiyune rauh saking kauh, kekaonan iwang tampi”
Artinya: Pada Hari Selasa, kalau ada tamu yang datang dari utara, hal yang baik bisa jelek. Kalautamu dattang dari timur, bantuan yang baik. Bila tamu datang dari selatan, ada pembicaraan yang penting. Bila ada tamu yang datang dari barat, akan ada sesuatu ketersinggungan.
Pada hari Rabu: “Ritatkala dina budha: yan tamiyune rauh saking kaler, ada pembicaraan yang penting. Yan tamiyune rauh saking kangin, pitulung sane becik. Yan tamiyune rauh saking kelod, kaon iwang tampi. Yan tamiyune rauh saking kauh, kebecikan kekawonang”
Artinya: Bila hari rabu: kalau ada tamu yang datangnya dari utara, akan ada pembicaraan yang penting. Kalau ada tamu datangnya dari timur, bantuan yang sangat baik. Bila tamu datang dari selatan, jelek salah tampi. Kalau tamu datang dari barat, hal yang baik menjadi salah tampi.
Pada hari Kamis: “Yan tamiyurauh dine wrespati, sakeng utara, pitulungan sane becik. Yan tamiyu rauh saking kangin, bebaosan iwang tampi. Yan tamiyu rauh saking kelod, kabecikan kakawonang. Yan tamiyu rauh saking kauh, wenten bebaos sane kabuat”
Artinya: Kalau ada tamu yang datang pada hari kamis, dari utara datangnya, bantuan yang bagus. Kalau datang dari timur, bisa pembicaraan salah paham. Kalau tamu datang dari selatan, hal-hal yang baik dianggap jelek. Kalau tamu datang dari barat, ada pembicaraan yang penting.
Pada hari Jumat: “ Yan wenten tamiyu rauh dina sukra, saking kaler pitulung sane becik. Yan wenten tamiyu rauh saking kangin, bebawusan iwang tampi. Yan wenten tamiyu rauh saking kelod, kebecikan kakawonang. Yan wenten tamiyu rauh saking kauh, wenten baos sane buat”
Artinya: Kalau ada tamu datangnya pada hari jumat, dari utara maka bantuan yang sangat baik. Bila tamu datang dari timur, maka perkataan yang salah paham. Bila tamu datang dari selatan, maka perbuatan baik akan disalahkan. Kalau ada tamu datang dari barat, ada pembicaraan yang penting.
Pada hari Sabtu: “ Yan wenten tamiyu rauh dina saniscara, saking utara, pitulung sane becik. Yang wenten tamiyu rauh saking kangin, kekawonan iwang tampi. Yan wenten tamiyu rauh saking kelod, baos sane buat. Yan wenten tamiyu saking kauh, kebecikang kekawonang”.
Artinya: Billa ada tamu pada hari sabtu, datang dari utara, bantuan yang baik. Kalau ada tamu datang dari timur, kejelekan salang tampi. Kalau ada tamu datang dari selatan, ada pembicaraan yang penting, kalau tamu datang dari barat maka ada penerimaan maksud baik katerima salah.
Mengenai penjelasan tersebut di atas peneliti belum menemukan dokumen yang mendukung sebagai faktor memperkuat kebenaran atau keautentikan sistem pendiagnosisan dengan waktu / hari kedatangan tamu ini, namun dalam Lontar Usada Tiwang (Yuliana.2013: 196) ada disebutkan beberapa hal saja, “untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan memeprhatikan kala, kali, dan dengen”. Dikatakan menurut Zoetmolder bahwa kala sebagai waktu, jam, hari dan bulan, kata kala berarti sakit yang dapat dianggap mala yang dapat dielakan, kata kala disebutkan sebagai Dewa Maut yang datang pada waktunya, kata kali yang dimaksudkan adalah penyakit (tanda-tanda lahiriah), sedangkan kata dengen yang dimaksud adalah kekuatan bathin atau ke-shakti-an yang mengiringi, mendampingi dan menemani bathin seseorang.
4.1.4 Mendiagnosis Berdasarkan Keleteg Keneh
Jro Balian Dalang Wayan Lalar menjelaskan (wawncara, 1 maret 2016) bahwa:
“Dalam Usada Bali yang tidak kalah pentingnya, mengetahui ajipangawasan atau tetelik jati atau tatenger sebagai pengetahuan untuk mengetahui penyakit pasien. Pada umumnya di lontar usada menjelaskan ciri dari pasien yang terkena penyakit tertentu. Pada Lontar Tetelik Jati ada pengetahuan Sanghyang Premana, Sanghyang Adnyana dan menjadikan diri manusa shakti dengan laku spiritual (agama Premana), hal tersebut menjadikan diri Balian / Pangusadasiddhi (bertuah)”.
Hal yang sama dijelaskan oleh Yasa (2014:104-105), dijelaskan bahwa Sanghyang Premana yang dimaksud adalah pratyaksa premana yaitu kepekaan pencandraan (daya observasi), sedangkan Sanghyang Adnyana adalah Anumana Pramanayaitu daya budhi dan kecerdasan bernalar. Kekuatan daya ini harus disatukan saat mendiagnosis pasien. Balian / Pangusada harus menganalisis hubungan antara tanda (akibat) yang tampak pada tubuh dan prilaku pasien (hasil pecandraan) dengan penyebabnya yang tidak tampak yang menyebabkan pasien sakit.
Hal tersebut juga dapat kemiripan dengan apa yang disebutkan dalam Lontar Wraspati Tattwa bahwa ada tiga penyebab sakit dari kausa alam atau Bhautika Dukayang merupakan akibat keteledoran (Nala, 2006: 93-94; Yasa.2015:9-12) disebutkan sebagai berikut: “1)Adhyatmika duhka ngaranyaikang lara sangkeng manah, lwirnya raga, dwesa, moha, urem, bhara, gigil, puru, kuris, wata, pita, slesma, sula, larahatin”,
Artinya: "Adhyatmika dukha adalah sakit yang disebabkan oleh pikiran (kausa mental). antara lain: ambisius, marah, bingung, muram, demam, menggigil, bisul, sakit kulit, masuk angin, sakit kuning, panas, slesma, sakit seperti ditusuk-tusuk, sakit hat";
“2)Adhidaiwika duhka ngaranya ikang ingadap ing gelap, edan, ayan, kawasa graha, saprakaraning duhka dewa, yeka adhidaiwika duhka ngaranya”,
Artinya: Adhidaiwika duhka yaitu penyakit karena kausa supra natural, contohnya adalah disambar petir, gila, epilepsi, kemasukan roh, pokoknya segala jenis penyakit yang disebabkan oleh dewa disebut adhadaiwika duhka;
“3)Adhbhautika duhka ngaranya pinarang, rinacun, jinarem, keneng upas, kesyan, inabhicari, tineluh, tinuju khala ula lalatang, saprakaraning lara duhka sakeng bhuta, bhuta ngaranika mawak kabeh, yekang adhibhautika duhka ngaranya”,
Artinya: 3) Adhibhautika duhka yaitu penyakit karena keteledoran diri, contohnya adalah sakit karena diparang, dirancun, ditusuk, kena racun binatang, kemasukan roh jahat, kena ilmu hitam, diteluh, disengat kalejengking, ular, dan jelatang. Pokoknya segala jenis yang disebabkan oleh bhuta disebut adhibhautikaduhka. Bhuta adalah segala yang berwujud (kasar)”.
Adhibhautika duhka yaitu penyakit karena keteledoran diri dapat didiagnosis dengan mudah, namun penyakit Adhyatmika dukha adalah sakit yang disebabkan oleh pikiran (kausa mental) dan Adhidaiwika duhka yaitu penyakit karena kausa supra natural, hal ini sering tidak bisa dianalisis dengan pikiran sadar, maka harus mengetahuinya dengan mendalami agama Premana sehingga memiliki daya spiritual (manusia shaktiatau taksu). Kekuatan shakti ini diperoleh melalui pelatihan yang dijalani berupa laku spiritual sehingga dapat menjadikan dirinya menjadi manusia istimewa dengan kemampuan peka akibat pengendalian emosinya melalui pelatihan fisikologis yang kuat (Yasa. 2015:9-12; Nala, 2006: 93-94).
Jadi dari penjelasan tersebut di atas dpat disimpulkan bahwa, menganalisis hubungan antara tanda (akibat) yang tampak pada tubuh dan prilaku pasien berdasarkan kepekaan atau kecerdasan bernalar yang didapat dari laku spiritual pelaku pangusada yaitu berdasarkan Keleteg Keneh / Petunjuk Embang atau kepekaan pencandraan (daya observasi), daya budhi (anumana pramana).
4.1.5 Mendiagnosis Berdasarkan Patengeraning Pati Urip.
Menurut penuturan Jro Balian Dalang Wayan Lalar (wawancara, 01 maret 2016) bahwa: “ Patengeraning Pati Urip yaitu dengan menggunakan tenung atau pengetahuan yang berkaitan dengan ramalan, seperti: kapan mulai jatuh sakit, dan ciri-ciri datangnya sakit dan sebagainya, hal ini dipengaruhi oleh hari lahirnya (sapta wara), panca wara, pawukon, bahkan jam kelahirannya. Siklus perputaran pertemuan atau pengulangan dari sapta wara dan pancawara ini yang melahirkan satu wuton (210 hari) sebagai dasar menafsirkan sifat atau karakter atau watak yang dimiliki, penyakit, rejeki, masa depannya, baik-burunya perjodohan menurut hari kelahiran dan sebagainya”.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa: “Bila penyakit yang datangnya teke luas, kemungkinan karena perlu bayuh wuton atau penyakit dikarenakan hari kelahirannya. Bayuh wuton adalah upacara menurut kelahiran untuk menetralisir pengaruh-pengaruh yang tidak baik yang ada pada diri manusia”.
Hal tersebut didukung oleh pendapatnya Yendra (2015:1-6) bahwa masyarakat Bali untuk mengetahui jenis upacara ruwatan (bayuh wuton) dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: a) Nunas Baos, memohon petunjuk kepada Jro Tapakan, Balian konteng atau lainnya yang memiliki profesi ini, menanyakan siapa yang lahir, dan upacara apa yang dinginkan oleh yang manumadi, mungkin ada hutang yang harus dibayar (biasanya hutang berupa ruwatan / saji), dan b) Pewacakan, pengecekan tabiat atau watak, ala (kotoran niskala yang dibawa semenjak lahir), baik-buruknya kelahiran dan sebagainya. Dengan cara di ruwat atau disempurnakan atau menetralisir pengaruh negatif dengan bayuh wuton. Bayuh adalah kata yang sejenis dengan kata dayuh. Dayuh / ayuh dalam bahasa Bali artinya sejuk, bayuh dimaksudkan menyejukkan diri manusia dari hal-hal yang bersifat keras atau panas kelahirannya, menyejukkan juga berarti menetralisir. Sedangkan kata ruwatan berasal dari kata ruwat yang berarti menyucikan, namun kemudian berarti menetralisir pengaruh-pengaruh jahat misalnya ruwat sudhamala. Sahadewa meruwat Betari Durga dengan cara membunuhnya lalu betari Durga “Somya” kembali menjadi Uma dan dalam hal ini ruwat lebih mengacu pada peleburan. Baik ruwatan atau bayuh selalu mempergunakan jenis upakara yang di Bali disebut bebanten(sesajen). Bebanten atau sesaji disamping berfungsi sebagai hidangan kehadapan Bhatara Kala dan saudara yang diajak lahir (Saudara patpat kelima pancer), juga mempunyai arti yang sangat dalam bernilai magis. Dalam upacara bayuh selalu dilengkapi dengan “Penglukatan” ‘Penyucian diri dengan air yang telah diberi Mantra-Mantra’ yang berfungsi pembersihan secara spiritual. Dengan demikian bayuh (ruwatan) lebih mengarah pada arti penyucian atau pembersihan.
Masyarakat Hindu dan masyarakat-masyarakat kuno lainnya memiliki konsep tentang hari baik untuk bepergian, bercocok tanam, menebang pohon, berburu serta hari baik tentang berbagai aspek kehidupan lainnya. Mereka juga meyakini bahwasanya waktu dan hari “mencetak” anak dan kelahiran sang anak akan berpengaruh pada karakter dan pembawaan anak bersangkutan. Ramalan ini tidak ubahnya seperti para ahli metrologi meramalkan cuaca pada suatu waktu di wilayah tertentu berdasarkan pada parameter-parameter tertentu. Jika ahli metrologi mendasarkan ramalannya pada parameter kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara dan komposisi awan, maka ahli astrologi veda mendasarkan ramalan watak seseorang dan juga hari baik berdasarkan formasi dan kedudukan bulan, planet-planet, matahari dan gugus bintang yang akan menimbulkan medan gravitasi dan elektromagnetik yang berbeda-beda pada masing-masing formasi terhadap bumi dan mahluk hidup di dalamnya. Hal inilah menyadarkan masyarakat di Bali tidak sedikit yang berani menolak dan menganggap konsep hari baik dan astrologi sebagai tahayul dan budaya primitif. Hanya karena kebodohan dan pengetahuan mereka yang keringlah sehingga menyebabkan mereka menghina warisan leluhur mereka sendiri yang adiluhur dan mengimport konsep asing yang tidaklah lebih baik. Mereka tidak sadar bahwa konsep wewaran dan pawukon yang diturunkan dari ajaran Veda yang selama ini mereka anggap kuno sebenarnya sudah jauh lebih maju dan melampaui ilmu astronomi modern yang sedang berkembang saat ini (Nala.1994:204-207).
Dari penjelasan tersebut di atas bahwa pendiagnosisan berdasarkan hari kelahira (wacakan wuton). Pengecekan tabiat atau watak, ala (kotoran niskala yang dibawa semenjak lahir), baik-buruknya kelahiran dan sebagainya. Dengan cara di ruwat atau disempurnakan untuk menetralisir pengaruh negatif dengan bayuh wuton (ruwatan) lebih mengarah pada arti penyucian atau pembersihan diri.
Kesimpulan dalam tata cara mendiagnosis suatu penyakit menurut Jro Balian Dalang Wayan Lalar dilakukan dengan berbagai cara seperti wawancara langsung, melihat/ memperhatikan langsung kelainan tubuh pasien, menenung datangnya penyakit, wacakan wuton, dan penyebab penyakit seperti (penyakit keturunan, pengaruh cuaca, akibat dari perbuatannya sendiri, akibat dari benda-benda tajam, akibat dari pengaruh niskala (keponggor, ala, mala), atau penyakit karena perbuatan manusia jahil /desti). Menganalisis hubungan antara tanda (akibat) yang tampak pada tubuh dan prilaku pasien berdasarkan kepekaan atau kecerdasan bernalar yang didapat dari laku spiritual pelaku pangusada yaitu berdasarkan Keleteg Keneh / Petunjuk Embang atau kepekaan pencandraan (daya observasi), daya budhi (anumana pramana).
Oleh I Nyoman Sridana. S. Kes.H., M.Si
Herbal Usadha Taru Pramana
25 Mei 2019
|